Makalah Peradaban Awal Di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Peradaban adalah memiliki berbagai arti dalam kaitannya dengan masyarakat manusia. Seringkali
istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang
"kompleks": dicirikan oleh praktik dalam pertanian, hasil karya dan
pemukiman, berbanding dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban akan
disusun dalam beragam pembagian kerja yang rumit dalam struktur hirarki sosial.
Dalam sebuah pemahaman lama
tetapi masih sering dipergunakan adalah istilah "peradaban" dapat
digunakan dalam cara sebagai normatif baik dalam konteks sosial di mana rumit
dan budaya kota yang dianggap unggul lain "ganas" atau
"biadab" budaya, konsep dari "peradaban" digunakan sebagai
sinonim untuk "budaya (dan sering moral) Keunggulan dari kelompok tertentu."
Dalam artian yang sama, peradaban dapat berarti "perbaikan pemikiran, tata
krama, atau rasa".
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kehidupan Sebelum Mengenal Tulisan?
2.
Bagaimana
Terbentuknya kepulauan Indonesia?
3.
Mengenal
Manusia purba?
C. Tujuan
1.
Mengetahui
kehidupan Sebelum Mengenal Tulisan
2.
Mengetahui
Terbentuknya kepulauan Indonesia
3.
Mengetahui
Manusia purba di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sebelum Mengenal Tulisan
1. Mengamati Lingkungan
Coba kamu renungkan, apakah yang terjadi ketika tawuran
anak-anak sekolah berlangsung? Bukankah sering kali mereka saling melempar
batu? Batu adalah senjata yang paling awal digunakan umat manusia dalam
mempertahankan hidupnya. Jadi, anak sekolah di zaman modern ini — zaman yang
bahkan dikatakan “era globalisasi”, ketika tiada lagi batas-batas yang menghambat
hubungan kebudayaan — ter nyata masih mempraktikkan tradisi manusia purba pada
masa pra-aksara. Bila kamu juga melakukan hal-hal seperti itu, maka kamu masih
pada tahapan peradaban masa pra-aksara. Untuk mengetahui apa, siapa, dan
bagaimana kehidupan manusia zaman pra-aksara kamu dapat mempelajari bacaan di
berikut ini.
Manusia purba tidak mengenal
tulisan dalam kebudayaannya. Periode kehidupan ini dikenal dengan zaman
pra-aksara. Masa praaksara berlangsung sangat lama jauh melebihi periode kehidupan
manusia yang sudah mengenal tulisan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami
perkembangan kehidupan manusia pada zaman pra-aksara kita perlu mengenali
tahapan-tahapannya.
2. Memahami Teks
Sebelum mengenali tahapan-tahapan atau pembabakan
perkembangan kehidupan dan kebudayaan zaman pra-aksara, perlu kamu ketahui
lebih dalam apa yang dimaksud zaman praaksara. Pra-aksara adalah istilah baru
untuk menggantikan istilah prasejarah. Penggunaan istilah prasejarah untuk
menggambarkan perkembangan kehidupan dan budaya manusia saat belum mengenal
tulisan adalah kurang tepat. Pra berarti sebelum dan sejarah adalah sejarah
sehingga prasejarah berarti sebelum ada sejarah. Sebelum ada sejarah berarti
sebelum ada aktivitas kehidupan manusia. Dalam kenyataannya sekalipun belum
mengenal tulisan, makhluk yang dinamakan manusia sudah memiliki sejarah dan
sudah menghasilkan kebudayaan. Oleh karena itu, para ahli mempopulerkan istilah
praaksara untuk menggantikan istilah prasejarah.
Pra-aksara berasal dari dua kata, yakni pra yang berarti
sebelum dan aksara yang berarti tulisan. Dengan demikian zaman pra-aksara
adalah masa kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Ada istilah yang mirip
dengan istilah pra-aksara, yakni istilah nirleka. Nir berarti tanpa dan leka
berarti tulisan. Karena belum ada tulisan maka untuk mengetahui sejarah dan
hasil-hasil kebudayaan manusia adalah dengan melihat beberapa sisa peninggalan
yang dapat kita temukan. Kapan waktu dimulainya zaman pra-aksara? Kapan zaman
pra-aksara itu berakhir? Zaman pra-aksara dimulai sudah tentu sejak manusia
ada, itulah titik dimulainya masa praaksara. Zaman pra-aksara berakhir setelah
manusianya mulai mengenal tulisan. Pertanyaan yang sulit untuk dijawab adalah
kapan tepatnya manusia itu mulai ada di bumi ini sebagai pertanda dimulainya
zaman pra-aksara?. Sampai sekarang para ahli belum dapat secara pasti menunjuk
waktu kapan mulai ada manusia di muka bumi ini. Tetapi yang jelas untuk
menjawab pertanyaan itu kamu perlu memahami kronologi perjalanan kehidupan di
permukaan bumi yang rentang waktunya sangat panjang. Bumi yang kita huni
sekarang diperkirakan mulai terjadi sekitar 2.500 juta tahun yang lalu.
Bagaimana kalau kita ingin melakukan kajian tentang
kehidupan zaman pra-aksara? Untuk menyelidiki zaman praaksara, para sejarawan
harus menggunakan metode penelitian ilmu arkeologi dan juga ilmu alam seperti
geologi dan biologi. Ilmu arkeologi adalah bidang ilmu yang mengkaji
bukti-bukti atau jejak tinggalan fisik, seperti lempeng artefak, monumen, candi
dan sebagainya. Berikutnya menggunakan ilmu geologi dan percabangannya,
terutama yang berkenaan dengan pengkajian usia lapisan bumi, dan biologi
berkenaan dengan kajian tentang ragam hayati (biodiversitas) makhluk hidup.
Mengingat jauhnya jarak waktu masa pra-aksara dengan kita
sekarang, maka tidak jarang orang mempersoalkan apa perlunya kita belajar
tentang zaman pra-aksara yang sudah lama ditinggalkan oleh manusia modern.
Tetapi pandangan seperti ini sungguh menyesatkan, sebab tentu ada hubungannya
dengan kekinian kita. Beberapa di antaranya akan dikemukakan berikut ini.
Data etnografi yang menggambarkan kehidupan masyarakat
pra-aksara ternyata masih berlangsung sampai sekarang. Entah itu pola hunian,
pola pertanian subsistensi, teknologi tradisional dan konsepsi kepercayaan
tentang hubungan harmoni antara manusia dan alam, bahkan kebiasaan memiara
hewan seperti anjing dan kucing di lingkungan manusia modern perkotaan.
Demikian pula kebiasaan bertani merambah hutan dengan motode ‘tebang lalu
bakar’ (slash and burn) untuk memenuhi kebutuhan secukupnya masih ada hingga
kini. Namun, kebiasaan merambah hutan dan hidup berpindah-pindah pada masa
lampau tidak menimbulkan malapetaka asap yang mengganggu penerbangan domestik.
Selain itu, juga mengganggu bandara negara tetangga Singapura dan Malaysia
seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini. Teknologi manusia modernlah yang
mampu melakukan perambahan hutan secara besar-besaran, entah itu untuk
perkebunan atau pertambangan, dan permukiman real estate sehingga menimbulkan
malapetaka kabut asap dan kerusakan lingkungan.
B. Terbentuknya Kepulauan Indonesia
1. Mengamati lingkungan
Bumi kita yang terhampar luas ini diciptakan Tuhan Yang
Maha Pencipta untuk kehidupan dan kepentingan hidup manusia. Di bumi ini hidup
berbagai flora dan fauna serta tempat bersemainya manusia dengan keturunannya.
Di bumi ini kita bisa menyaksikan keindahan alam, kita bisa beraktivitas dan
berikhtiar memenuhi kebutuhan hidup kita. Namun harus dipahami bahwa bumi kita
juga sering menimbulkan bencana. Sebagai contoh munculnya aktivitas lempeng
bumi yang kemudian melahirkan gempa bumi baik tektonis maupun vulkanis, bahkan
sampai menimbulkan tsunami. Sebagai contoh tentu kamu masih ingat bagaimana
gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, di Papua dan
beberapa di daerah lain, termasuk beberapa gunung berapi meletus. Bencana
tersebut telah mengakibatkan ribuan nyawa hilang dan harta benda melayang.
Fenomena alam yang terjadi itu merupakan bagian tak
terpisahkan dari aktivitas panjang bumi kita sejak proses terjadinya alam
semesta ratusan bahkan ribuan juta tahun yang lalu. Proses tersebut secara
geologis mengalami beberapa tahapan atau pembabakan waktu. Berikut ini kita
mencoba menelaah tentang pembabakan waktu alam secara geologis dan bagaimana
Kepulauan Indonesia terbentuk.
2. Memahami Teks
Ada banyak teori dan penjelasan tentang penciptaan bumi,
mulai dari mitos sampai kepada penjelasan agama dan ilmu pengetahuan. Kali ini
kamu belajar sejarah sebagai cabang keilmuan, pembahasannya adalah pendekatan
ilmu pengetahuan, yakni asumsi-asumsi ilmiah, yang kiranya juga tidak perlu
bertentangan dengan ajaran agama. Salah satu di antara teori ilmiah tentang
terbentuknya bumi adalah Teori “Dentuman Besar” (Big Bang), seperti dikemukaan
oleh sejumlah ilmuwan, seperti ilmuwan besar Inggris, Stephen Hawking. Teori
ini menyatakan bahwa alam semesta mulanya berbentuk gumpalan gas yang mengisi
seluruh ruang jagad raya. Jika digunakan teleskop besar Mount Wilson untuk
mengamatinya akan terlihat ruang jagad raya itu luasnya mencapai radius
500.000.000 tahun cahaya. Gumpalan gas itu suatu saat meledak dengan satu
dentuman yang amat dahsyat. Setelah itu, materi yang terdapat di alam semesta
mulai berdesakan satu sama lain dalam kondisi suhu dan kepadatan yang sangat
tinggi, sehingga hanya tersisa energi berupa proton, neutron dan elektron, yang
bertebaran ke seluruh arah.
Ledakan dahsyat itu menimbulkan gelembung-gelembung alam
semesta yang menyebar dan menggembung ke seluruh penjuru, sehingga membentuk galaksi,
bintang-bintang, matahari, planet-planet, bumi, bulan dan meteorit. Bumi kita
hanyalah salah satu titik kecil saja di antara tata surya yang mengisi jagad
semesta. Di samping itu banyak planet lain termasuk bintang-bintang yang
menghiasi langit yang tak terhitung jumlahnya. Boleh jadi ukurannya jauh lebih
besar dari planet bumi. Bintang-bintang berkumpul dalam suatu gugusan, meskipun
antarbintang berjauhan letaknya di angkasa. Ada juga ilmuwan astronomi yang
mengibaratkan galaksi bintang-bintang itu tak ubahnya seperti sekumpulan anak
ayam, yang tak mungkin dipisahkan dari induknya. Jadi di mana ada anak ayam di
situ pasti ada induknya. Seperti halnya dengan anak-anak ayam, bintang-bintang
di angkasa tak mungkin gemerlap sendirian tanpa disandingi dengan bintang
lainnya. Sistem alam semesta dengan semua benda langit sudah tersusun secara
menakjubkan dan masing-masing beredar secara teratur dan rapi pada sumbunya
masing-masing.
Selanjutnya proses evolusi
alam semesta itu memakan waktu kosmologis yang sangat lama sampai berjuta
tahun. Terjadinya evolusi bumi sampai adanya kehidupan memakan waktu yang
sangat panjang. Ilmu paleontologi membaginya dalam enam tahap waktu geologis.
Masing-masing ditandai oleh peristiwa alam yang menonjol, seperti munculnya gunung-gunung,
benua, dan makhluk hidup yang paling sederhana. Sedangkan proses evolusi bumi
dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut.
1.
Azoikum
(Yunani: a = tidak; zoon = hewan), yaitu zaman sebelum adanya kehidupan. Pada
saat ini bumi baru terbentuk dengan suhu yang relatif tinggi. Waktunya lebih
dari satu miliar tahun lalu.
2.
Palaezoikum,
yaitu zaman purba tertua. Pada masa ini sudah meninggalkan fosil flora dan
fauna. Berlangsung kira-kira 350.000.000 tahun.
3.
Mesozoikum,
yaitu zaman purba tengah. Pada masa ini hewan mamalia (menyusui), hewan amfibi,
burung dan tumbuhan berbunga mulai ada. Lamanya kira-kira 140.000.000 tahun.
4.
Neozoikum,
yaitu zaman purba baru, yang dimulai sejak 60.000.000 tahun yang lalu. Zaman
ini dapat dibagi lagi menjadi dua tahap (Tersier dan Quarter). Zaman es mulai
menyusut dan makhluk-makhluk tingkat tinggi dan manusia mulai hidup.
Merujuk pada tarikh bumi di atas, sejarah di Kepulauan
Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang dan rumit. Sebelum bumi didiami
manusia, kepulauan ini hanya diisi tumbuhan flora dan fauna yang masih sangat
kecil dan sederhana. Alam juga harus menjalani evolusi terus-menerus untuk
menemukan keseimbangan agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi
alam dan iklim, sehingga makhluk hidup dapat bertahan dan berkembang biak
mengikuti seleksi alam.
C. Mengenal Manusia
Purba
1. Sangiran
Perjalanan kisah perkembangan manusia di Kepulauan
Indonesia tidak dapat kita lepaskan dari keberadaan bentangan luas perbukitan
tandus yang berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar.
Lahan itu dikenal dengan nama Situs Sangiran. Di dalam buku Harry Widianto dan
Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan bahwa Sangiran
merupakan sebuah kompleks situs manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling
lengkap dan paling penting di Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi
tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk
tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu
mempunyai luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer
arah timur-barat. Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang berupa
cekungan besar di pusat kubah akibat adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah
raksasa itu diwarnai dengan perbukitan yang bergelombang. Kondisi deformasi
geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang mengandung
fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk artefak. Berdasarkan materi
tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir
fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada musim kemarau.
Sangiran pertama kali ditemukan dan diteliti oleh P.E.C.
Schemulling tahun 1864, dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso,
bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu
seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga pernah datang
ke Sangiran, akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di wilayah
Sangiran. Pada 1934, Gustav Heindrich Ralph von Koenigswald menemukan
artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak sekitar dua kilometer di barat
laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan penting
bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koenigswald, Situs Sangiran menjadi
sangat terkenal berkaitan dengan penemuanpenemuan fosil Homo erectus secara
sporadis dan berkesinambungan. Homo erectus adalah takson paling penting dalam
sejarah manusia, sebelum masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia
modern.
2. Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali
temuan Pithecantropus erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di
daerah Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur. Desa itu berada tepat di tengah hutan
jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng. Pada saat Dubois meneliti dua
horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang
pendek dan sangat kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa.
Prageraham itu menunjukkan ciri gigi manusia bukan gigi kera, sehingga diyakini
bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang hominid. Pithecantropus itu
kemudian dikenal dengan Pithecantropus A.
Trinil adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo,
masuk wilayah administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh
sebelum von Koenigswald menemukan Sangiran pada 1934. Ekskavasi yang
dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil telah membawa penemuan
sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan.
Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan
ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa buah tulang
paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah berjalan tegak.
Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat
pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di
antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang
kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata, terdapat penyempitan yang
sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian belakang
kepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya merupakan
perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala,
ditafsirkan inividu ini telah mencapai usia dewasa.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan manusia purba
tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora,
Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Temuan berupa tengkorak
anak-anak berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang membantu penelitian
Koenigswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan. Temuan itu menjadi bahan
diskusi yang menarik bagi para ilmuwan. Metode pengujian penanggalan
potasium-argon yang digunakan oleh Teuku Jakob dan Curtis terhadap batu apung
yang terdapat di sekitar fosil tengkorak itu menunjukkan angka 1,9 atau kurang
lebih 0,4 juta tahun. Pengujian juga dilakukan dengan mengambil sampel endapan
batu apung dari dalam tengkorak dan menunjukkan angka 1,81 juta tahun. Hasil
uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para ahli dan perlu
untuk dikaji lebih lanjut. Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak
anak Homo erectus dari Perning, Mojokerto ini merupakan individu Homo erectus
tertua di Indonesia. Adakah di antara kamu yang tertarik untuk melakukan
pengujian ini?
Temuan Homo erectus juga ditemukan di Ngandong, yaitu
sebuah desa di tepian Bengawan Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak
Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata 1.100 cc.
Ciri-ciri ini menunjukkan Homo erectus ini lebih maju bila dibandingkan dengan
Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan berumur antara
300.000-100.000 tahun.
Berdasarkan beberapa
penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi
beberapa jenis manusia purba yang pernah hidup di zaman praaksara.
1.
Jenis
Meganthropus Jenis manusia purba ini terutama berdasarkan penelitian von
Koenigswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang manusia
berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para ahli menamakan jenis
manusia ini dengan sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya manusia raksasa
dari Jawa. Jenis manusia purba ini memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya
tegap. Diperkirakan makanan jenis manusia ini adalah tumbuh-tumbuhan. Masa
hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
2.
Jenis
Pithecanthropus Jenis manusia ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois
tahun 1890 di dekat Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah
Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih terlihat
tanda tanda kera. Oleh karena itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus,
artinya manusia kera yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di
Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus mojokertensis. Jenis manusia
purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak
ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan
berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
3.
Jenis
Homo Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak.
Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan
sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis manusia Homo ini muka lebar, hidung dan
mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis
Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan manusia sekarang.
Hidup dan perkembangan jenis manusia ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang
lalu. Tempat-tempat penyebarannya tidak hanya di Kepulauan Indonesia, tetapi
juga di Filipina dan Cina Selatan.
Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi
fisik, volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda
dengan manusia modern. Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan
‘manusia bijak’ karena telah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan
alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar
dengan cepat ke berbagai penjuru dunia hingga saat ini? Para ahli
paleoanthropologi dapat melukiskan perbedaan morfologis Homo sapiens
dengan pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya
dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya karena tulang belulangnya tidak
setebal dan sekompak Homo erectus.
Beberapa spesimen (penggolongan) manusia Homo sapiens
dapat dikelompokkan sebagai berikut,
1.
Manusia
Wajak Manusia Wajak (Homo wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di
Indonesia yang untuk sementara dapat disejajarkan perkembangannya dengan
manusia modern awal dari akhir Kala Pleistosen. Pada tahun 1889, manusia Wajak
ditemukan oleh B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst
di barat laut Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur. Sartono Kartodirjo
(dkk) menguraikan tentang temuan itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang
bawah, dan beberapa buah ruas leher. Temuan Wajak itu adalah Homo sapiens.
Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya menonjol
sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening nyata. Tengkorak
ini diperkirakan milik seorang perempuan berumur 30 tahun dan mempunyai volume
otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang
sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang
bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga
busur kening yang nyata. Pada tengkorak laki-laki perlekatan otot sangat nyata.
Langit-langit juga dalam. Rahang bawah besar dengan gigigigi yang besar pula.
Kalau menutup gigi muka atas mengenai gigi muka bawah. Dari tulang
pahanya dapat diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang
besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya
dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun
Austromelanesoid. Diperkirakan dari manusia Wajak inilah sub-ras Melayu
Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid sekarang. Hal
itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu
berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke
belakang. Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh karena sangat datar dan pipinya
sangat menonjol ke samping. Beberapa ciri lain juga memperlihatkan ciri-ciri
kedua ras di atas. Temuan Wajak menunjukkan pada kita bahwa sekitar 40.000
tahun yang lalu Indonesia sudah didiami oleh Homo sapiens yang rasnya sukar
dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang, sehingga manusia Wajak
dapat dianggap sebagai suatu ras tersendiri. Manusia Wajak tidak langsung
berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin tahapan Homo neanderthalensis
yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari Homo neanderthalensis di tempat
Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke arah Homo
yang ditemukan di Indonesia. Manusia Wajak itu tidak hanya mendiami
Kepulauan Indonesia bagian Barat saja, akan tetapi juga di sebagian
Kepulauan Indonesia bagian Timur. Ras Wajak ini merupakan penduduk Homo sapiens
yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian kita kenal sekarang. Melihat
ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih dekat dengan sub-ras
Melayu-Indonesia. Hubungannya dengan ras Australoid dan Melanesoid sekarang
lebih jauh, oleh karena kedua sub-ras ini baru mencapai bentuknya yang sekarang
di tempatnya yang baru. Mungkin juga ras Austromelanesoid yang dahulu
berasal dari ras Wajak.
2.
Manusia
Liang Bua Pengumuman tentang penemuan manusia Homo floresiensis pada tahun 2004
menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Sisasisa manusia ditemukan di sebuah gua
Liang Bua oleh tim peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua
permukiman di Flores. Liang Bua bila diartikan secara harfiah merupakan sebuah
gua yang dingin. Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah
yang datar, merupakan tempat bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa
praaksara. Hal itu bisa dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat
indah, yang berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di
depannya. Liang Bua merupakan sebuah temuan manusia modern awal dari akhir masa
Pleistosen di Indonesia yang menakjubkan yang diharapkan dapat menyibak asal
usul manusia di Kepulauan Indonesia.
3. Perdebatan Antara
Pithecantropus ke Homo Erectus
Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois
dihubungkan dengan teori evolusi manusia yang dituliskan oleh Charles Darwin.
Harry Widianto menuliskan perdebatan itu seperti berikut. Fosil Pithecanthropus
oleh Dubois yang dipublikasikan pada tahun 1894 dalam berbagai majalah ilmiah
melahirkan perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, menurut
teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus adalah peralihan kera ke manusia.
Kera merupakan moyang manusia. Pernyataan Dubois itu kemudian menjadi
perdebatan, apakah benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi
berukuran besar, dan tulang paha yang berciri modern itu berasal dari satu
individu? Sementara orang menduga bahwa tengkorak tersebut merupakan tengkorak
seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo sp., dan tulang pahanya milik
manusia modern? Lima puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut
memang berasal dari gigi Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran
besar, akar gigi yang kuat dan terbuka, dentikulasi yang tidak individual, dan
permukaan occlusal yang sangat berkerut-kerut.
Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa,
ketika Dubois mempresentasikan penemuan tersebut dalam seminar
internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan dalam pameran
publik British Zoology Society di London. Setelah seminar dan pameran itu
banyak ahli yang tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian
menyimpan semua hasil temuannya itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai
diteliti oleh Franz Weidenreich. Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya
sebuah kajian ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia. Tahun 1920-an
merupakan periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia. Teori itu
terus menjadi perdebatan, para ahli paleontologi berbicara tentang ontogenesis
dan heterokroni.
Seorang teman Dubois, Bolk melakukan formulasi teori
foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah melakukan penemuan fosil
missing-link. Sementara Bolk menemukan modalitas evolusi dengan menafsirkan
bahwa peralihan dari kera ke manusia terjadi melalui perpanjangan perkembangan
fetus. Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang
sangat terkenal, bahwa filogenesa dan ontogenesis sama sekali tidak dapat
dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar sejak tahun 1927.
Penemuan situs Zhoukoudian di dekat Beijing, menghasilkan sejumlah besar
fosil-fosil manusia, yang diberi nama Sinanthropus pekinensis.
Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut menunjukkan ciri-ciri
yang sama dengan Pithecanthropus erectus.
Seorang ahli biologi
menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus
erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda dengan manusia
modern. Pithecanthropus adalah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo
sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu
hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka
Pithecanthrotus erectus harus diletakkan dalam genus Homo, dan untuk
mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka berakhirlah debat
panjang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan manusia
yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai hominid
dari Jawa, bagian dari Homo erectus.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia purba tidak mengenal tulisan dalam kebudayaannya.
Periode kehidupan ini dikenal dengan zaman pra-aksara. Masa praaksara
berlangsung sangat lama jauh melebihi periode kehidupan manusia yang sudah
mengenal tulisan. Alam semesta mulanya berbentuk gumpalan gas yang mengisi
seluruh ruang jagad raya. Jika digunakan teleskop besar Mount Wilson untuk
mengamatinya akan terlihat ruang jagad raya itu luasnya mencapai radius
500.000.000 tahun cahaya. Gumpalan gas itu suatu saat meledak dengan satu
dentuman yang amat dahsyat. Setelah itu, materi yang terdapat di alam semesta
mulai berdesakan satu sama lain dalam kondisi suhu dan kepadatan yang sangat
tinggi, sehingga hanya tersisa energi berupa proton, neutron dan elektron, yang
bertebaran ke seluruh arah.
B.
Saran
Penulis banyak berharap para pembaca
yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis
demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA