Makalah Penjajahan Pemerintah Belanda


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
            Latar belakang kedatangan Belanda ke Indonesia adalah akibat meletusnya perang delapan puluh tahun antara Belanda dan Spanyol (1568-1648). Pada awalnya, perang antara Belanda dan Spanyol bersifat agama, karena Belanda mayoritas beragama kristen protestan sedangkan orang Spanyol beragama kristen katolik. Perang tersebut kemudian menjadi perang ekonomi dan politik. Raja Philip II dari Spanyol memerintahkan kota Lisabon tertutup bagi kapal Belanda pada tahun 1585 selain karena faktor tesebut, juga karena adanya petunjuk jalan ke Indonesia dari Jan Huygen Van Lischoten, mantan pelaut Belanda yang bekerja pada Portugis dan pernah sampai di Indonesia.
 Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia adalah untuk berdagang rempah-rempah. Setelah berhasil menemukan daerah penghasil rempah-rempah dan keuntungan yang besar, Belanda berusaha untuk mengadakan monopoli perdagangan rempah-rempah dan menjajah. Untuk melancarkan usahanya, Belanda menempuh beberapa cara seperti pembentukan VOC dan pembentukan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
Pada awal abad XIX Jawa setelah pemerintahan Inggris berakhir, yaitu pada tahun 1816, Indonesia kembali dikuasai oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Pada masa kedua penjajahan ini, yang sangat terkenal adalah sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch. Pelaksanaannya pun dimulai pada tahun 1830. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Namun pada akhirnya, dalam praktek sesungguhnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan.
Terdapat perbedaan antara penerapan sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh Raffles serta sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya membawa dampak yang tidak sedikit bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam perkembangan sampai  dengan paruh pertama abad ke-19, kebijakan selain bidang perekonomian, dalam bidang pendidikan juga tidak diabaikan oleh pemerintah Hindia-Belanda, tetapi itu hanya masih berupa rencana dari pada tindakan nyata. Dalam periode itu pemerintah harus melakukan penghematan anggaran, biaya untuk menumpas Perang Dipenogoro (1825-1830), dan untuk pelaksanaan Culturstelsel.
Dalam rangka usahanya menguasai Indonesia, Belanda secara licik menjalankan politik pecah belah, sehingga kerajaan-kerajaan yang saling bertentangan itu menjadi lemah. Kesempatan inilah digunakan oleh Belanda untuk menjajah Indonesia.

B. Rumusan masalah
      1.            Bagaimana pemerintahan Republik Bataaf?
      2.            Bagaimana perkembangan kolonialisme inggris di indonesia?
      3.            Bagaimana dominasi perkembangan belanda?

C. Tujuan
      1.            Mengetahui pemerintahan Republik Bataaf
      2.            Mengetahui perkembangan kolonialisme inggris di indonesia
      3.            Mengetahui dominasi perkembangan belanda







BAB II
PEMBAHASAN

A.  Masa pemerintahan republik bataaf
            Pada tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda. Muncullah kelompok yang menamakan dirinya kaum patriot. Kaum ini terpengaruh oleh semboyan Revolusi Perancis: liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan).
Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam Revolusi Perancis itu maka kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan. Bertepatan dengan keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan Perancis menyerbu Belanda. Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai Perancis. Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari Perancis yang dinamakan Republik Bataaf (1795-1806). Sebagai pemimpin Republik Bataaf adalah Louis Napoleon saudara dari Napoleon Bonaparte.

            Sementara itu dalam pengasingan, Raja Willem V oleh pemerintah Inggris ditempatkan di Kota Kew. Raja Willem V kemudian mengeluarkan perintah yang terkenal dengan “Surat-surat Kew”. Isi perintah itu adalah agar para penguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya kepada Inggris bukan kepada Perancis. Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia seperti Padang pada tahun 1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda tahun 1796. Inggris juga memperkuat armadanya untuk melakukan blokade terhadap Batavia.

            Sudah barang tentu pihak Perancis dan Republik Bataaf juga tidak ingin ketinggalan untuk segera mengambil alih seluruh daerah bekas kekuasaan VOC di Kepulauan Nusantara. Karena Republik Bataaf ini merupakan vassal dari Perancis, maka kebijakan-kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan di Hindia masih juga terpengaruh oleh Perancis.
Kebijakan yang utama bagi Perancis waktu itu adalah memerangi Inggris. Oleh karena itu, untuk mempertahankan Kepulauan Nusantara dari serangan Inggris diperlukan pemimpin yang kuat. Ditunjuklah seorang muda dari kaum patriot untuk memimpin Hindia, yakni Herman Williem Daendels. Ia dikenal sebagai tokoh muda yang revolusioner.

1.  Pemerintahan Herman Williem Daendels (1808-1811)

            H.W. Daendels sebagai Gubernur Jenderal memerintah di Nusantara pada tahun 1808-1811. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris. Sebagai pemimpin yang ditunjuk oleh Pemerintahan Republik Bataaf, Daendels harus memperkuat pertahanan dan juga memperbaiki administrasi pemerintahan, serta kehidupan sosial ekonomi di Nusantara khususnya di tanah Jawa.

            Daendels adalah kaum patriot dan liberal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Revolusi Perancis. Di dalam berbagai pidatonya, Daendels tidak lupa mengutip semboyan Revolusi Perancis. Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan di lingkungan masyarakat Hindia. 

            Oleh karena itu, ia ingin memberantas praktik-praktik feodalisme. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih dinamis dan produktif untuk kepentingan negeri induk (Republik Bataaf). Langkah ini juga untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sekaligus membatasi hak-hak para bupati yang terkait dengan penguasaan atas tanah dan penggunaan tenaga rakyat.

Dalam rangka mengemban tugas sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesan dari pemerintah induk, Daendels melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut bidang pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.

2.  Pemerintahan Janssen (1811)

            Pada bulan Mei 1811, Daendels dipanggil pulang ke negerinya. Ia digantikan oleh Jan Willem Janssen. Janssen dikenal seorang politikus berkebangsaan Belanda. Sebelumnya Janssen menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Tanjung Harapan (Afrika Selatan) tahun 1802-1806. 

            Pada tahun 1806 itu Janssen terusir dari Tanjung Harapan karena daerah itu jatuh ke tangan Inggris. Pada tahun 1810 Janssen diperintahkan pergi ke Jawa dan akhirnya menggantikan Daendels pada tahun 1811. Janssen mencoba memperbaiki keadaan yang telah ditinggalkan Daendels.

            Namun harus diingat bahwa beberapa daerah di Hindia sudah jatuh ke tangan Inggris. Sementara itu penguasa Inggris di India, Lord Minto telah memerintahkan Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Pulau Penang untuk segera menguasai Jawa. Raffles segera mempersiapkan armadanya untuk menyeberangi Laut Jawa. Pengalaman pahit Janssen saat terusir dari Tanjung Harapan pun terulang. 

            Pada Tanggal 4 Agustus 1811 sebanyak 60 kapal Inggris di bawah komando Raffles telah muncul di perairan sekitar Batavia. Beberapa minggu berikutnya, tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1811 Batavia jatuh ke tangan Inggris. 

            Janssen berusaha menyingkir ke Semarang bergabung dengan Legiun Mangkunegara dan prajurit-prajurit dari Yogyakarta serta Surakarta. Namun pasukan Inggris lebih kuat sehingga berhasil memukul mundur Janssen beserta pasukannya. Janssen kemudian mundur ke Salatiga dan akhirnya menyerah di Tuntang. Penyerahan Janssen secara resmi ke pihak Inggris ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang pada tanggal 18 September 1811.


B. Perkembangan Kolonialisme Inggris Di Indonesia
1.  Awal mula Inggris di Indonesia

            Tanggal 18 September 1811 adalah tanggal dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia. Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi mengangkat Raffles sebagai penguasanya. Pusat pemerintahan Inggris berkedudukan di Batavia. Sebagai penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan langkah-langkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan. Dalam rangka menjalankan pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga prinsip.

Pertama, segala bentuk kerja rodi dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat. Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah kolonial. Ketiga, atas dasar pandangan bahwa tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa. Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang politik pemerintahan.

2.  Kebijakan dalam bidang pemerintahan

·         Secara geopolitik, Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan
·         Selanjutnya untuk memperkuat kedudukan dan mempertahankan keberlangsungan kekuasaan Inggris, Raffles mengambil strategi membina hubungan baik dengan para pangeran dan penguasa yang sekiranya membenci Belanda
·         Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak barat
·         Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya sebagai kepala pribumi. Mereka dijadikan pegawai pemerintah kolonial yang langsung di bawah kekuasaan pemerintah pusat



3.  Kebijakan dalam Bidang Sosial-Ekonomi
·         Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah (land rent) yang kemudian meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perekonomian uang
·         Penghapusan pajak dan penyerahan wajib hasil bumi
·         Penghapusan kerja rodi dan perbudakan
·         Misalnya : Raffles dalam praktiknya melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis perbudakan. Hal itu terbukti dengan pengiriman kuli-kuli dari Jawa ke Banjarmasin untuk membantu perusahaan temannya, Alexander Hare, yang sedang mengalami kekurangan tenaga kerja). Penghapusan sistem monopoli. Pemungutan pajak pada mulanya secara perorangan. Namun, karena petugas tidak cukup akhirnya dipungut per desa. Pajak dibayarkan kepada kolektor yang dibantu kepala desa tanpa melalui bupati. Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan melawan harimau.

4.  Bidang Ilmu Pengetahuan
·         Ditulisnya buku berjudul History of Java. Dalam menulis buku tersebut, Raffles dibantu oleh juru bahasanya Raden Ario Notodiningrat dan Bupati Sumenep, Notokusumo II.
·         Memberikan bantuan kepada John Crawfurd (Residen Yogyakarta) untuk mengadakan penelitian yang menghasilkan buku berjudul History of the East Indian Archipelago, tahun 1820.
·         Raffles juga aktif dalam mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
·         Ditemukannya bunga bangkai yang akhirnya diberi nama Rafflesia Arnoldi.
·         Dirintisnya Kebun Raya Bogor.




5.  Bidang Hukum
·         Sistem peradilan yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels.
·         Apabila Daendels berorientasi pada warna kulit (ras)
·         Raffles lebih berorientasi pada besar-kecilnya kesalahan
·         Menurut Raffles, pengadilan merupakan benteng untuk memperoleh keadilan. Oleh karena itu, harus ada benteng yang sama bagi setiap warga negara.
·         Raffles memang orang yang berpandangan maju. Ia ingin memperbaiki tanah jajahan, termasuk ingin meningkatkan kemakmuran rakyat.
·         Raffles juga sulit melepaskan kultur sebagai penjajah. Kerja rodi, perbudakan dan juga monopoli masih juga dilaksanakan. Misalnya kerja rodi untuk pembuatan dan perbaikan jalan ataupun jembatan, dan melakukan monopoli garam

C. Dominasi pemerintahan belanda

            Tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda setelah sebelumnya dikuasai oleh Inggris. Tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang terdiri atas tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota). Dengan tugas utama menormalisasikan keadaan di Hindia Belanda.

            Sementara itu perdebatan antar kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.

1. Kebijakan Jalan Tengah
Kebijakan jalan tengah adalah kebijakan yang merupakan jalan tengah yang diambil diantara pertentangan kaum liberal dan kaum konservatif dalam mengelola tanah jajahan di Indonesia. Ketiga Komisaris sepakat menerapkan kebijakan jalan tengah yaitu eksploitasi kekayaan ditanah jajahan langsung ditangani oleh pemerintah Hindia Belanda.
            Namun kebijakan ini tidak berjalan mulus. Akhirnya pada 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi ditanah jajahan adalah Gubernur Jenderal. Van der Capellen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapus peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Kemudian ia dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies. Kebijakan De Bus tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barangbarang yang diekspor.

2. Sistem Tanam Paksa
            Tahun 1829 seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang berkaitan dengan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia. Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang dapat laku dijual di pasar dunia. Konsep Bosch itulah kemudian dikenal dengan Cultuur stelsel atau tanam paksa.



3.  Ketentuan Tanam Paksa
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa. Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.
·         Penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa.
·         Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
·         Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
·         Tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
·         Hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.
·         Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah.
·         Penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum.
·         Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun.

4.  Pelaksanaan Tanam Paksa
Tanam Paksa dilaksanakan dengan cara sebagai berikut.
·         Sistem tanam paksa harus menggunakan organisasi desa
·         Pengerahan tenaga kerja melalui sambatan, gotong royong, gugur gunung
·         Peran kepala desa sangat sentral sebagai penggerak petani, penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah

Tanam paksa yang dilaksanakan telah membawa penderitaan rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 1850.

Walaupun banyak merugikan rakyat, namun Tanam Paksa juga memiliki beberapa dampak positif bagi rakyat, diantaranya adalah dikenalkan tanaman jenis baru untuk ekspor, dibangun saluran irigasi, dan dibangun jaringan rel kereta api. Sedangkan dampak negatifnya adalah sebagai berikut.
·         Pelaksanaan tanam paksa tidak sesuai dengan peraturan
·         Terjadi tindak korupsi dari pegawai dan pejabat dan rakyat sangat menderita
·         Para pekerja jatuh sakit dan terjadi bahaya kelaparan
·         Hindia Belanda mengeruk keuntungan 832 jt gulden 1831- 1877

3. Sistem Usaha Swasta
            Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa. Pihak yang pro Tanam Paksa tetap adalah kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah, sedangkan yang kontra adalah mereka dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas liberalisme.

            Setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen (Staten Generaal). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya perubahan dan pembaruan. Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak Gula) tulisan Frans van de Pute. Secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal.

            Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
·         Tahun 1864 dikeluarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh Parlemen.
·         Undang-undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.
·         Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain : Pertama, Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua. Pertama, milik pribumi berupa persawahan, kebun,dll. Kedua tanah hutan pegunungan, dll milik pemerintah. Kedua, Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah. Ketiga, Pihak swasta dapat menyewa tanah. Tanah pemerintah disewa sampai 75 tahun, tanah penduduk sampai 5 tahun

            Sejak UU Agraria, pihak swasta banyak emasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Munculnya imperalisme modern, kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi sebagai: tempat mendapat bahan mentah dan penanaman modal asing, tempat pemasaran hasil industri dari Eropa, dan penyedia tenaga kerja yang murah.
Sisi positif kebijakan ini antara lain pada tahun 1873 dibangun serangkaian jalan kereta api, tahun 1872 dibangun pelabuhan tanjung priok, Belawan, Teluk Bayur, dan 1883 maskapai tembakau Deli memprakarsai pembangunan jalan kereta api. Sedangkaan dampak negatifnya adalah pelaksanaan usaha swasta membawa penderitaan bagi rakyat bumiputera, pertanian merosot, rakyat kerja paksa dan membayar pajak

4. Masuknya Agama Kristen
            Perkembangan agama Kristen di Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Dalam kenyataannya agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan berkembang di berbagai daerah. Bahkan di daerah Indonesia bagian Timur seperti di Papua, daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara Timur, juga daerah Tapanuli di Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas.

            Pada tahun 650 agama Kristen sudah mulai berkembang di Kedah (Semenanjung Malaya) dan sekitarnya. Pada abad ke-9 Kedah berkembang menjadi pelabuhan dagang yang sangat ramai di jalur pelayaran yang menghubungkan India-Aceh-Barus- Nias-melalui Selat Sunda-Laut Jawa dan terus ke Cina. Jalur inilah yang disebut sebagai jalur penyebaran agama Kristen dari India ke Nusantara.

            Agama Kristen (Katolik dan Protestan) masuk dengan cara damai melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan. Agama ini tumbuh di daerah-daerah pantai di Semenanjung Malaya dan juga pantai barat di Sumatera.

            Kedatangan bangsa-bangsa Barat itu semakin memantapkan dan mempercepat penyebaran agama Kristen di Indonesia. Orang-orang Portugis menyebarkan agama Kristen Katolik (selanjutnya disebut Katolik). Orangorang Belanda membawa agama Kristen Protestan (selanjutnya disebut Kristen).

Agama Katolik dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua, wilayah Timur Kepulauan Indonesia pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak di Sumatera. Singkatnya agama Katholik dan Kristen dapat berkembang di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Batavia dan Jawa pada umumnya. Bahkan di Jawa ada sebutan Kristen Jawa.

















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
            Belanda datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1596-1811, dan yang kedua kalinya pada tahun 1814-1904. Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia adalah untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Dan untuk melancarkan usahanya, Belanda menempuh beberapa cara yaitu membentuk VOC pada tahun 1902 dan membentuk pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Setelah masa penjajahan itu usai, Belanda meninggalkan kebudayaan dan kebijakan-kebijakan yang sebagian masih dipakai oleh Indonesia.
Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda abad XIX sudah mengalami berbagai pergantian Gubernur Jendral tetapi yang paling menyengsarakan rakyat yaitu pada masa Gubjen, Rafles, Daendels, Van den Bosch, dan van Hogendrop. Yang menerapkan system tanam paksa, penyerahan wajib hasil pertanian, penyewaan tanah kepada rakyat, penyewaan desa pada pihak swasta dan pembuatan jalan dari Anyer sampai Panarukan.









DAFTAR PUSTAKA

http://herlinaherli.blogspot.com/2013/12/awal-kedatangan-belanda-di-indonesia.html
http://akbar-el-hamed.blogspot.com/2012/05/sejarah-kedatangan-voc-ke-indonesia.html
http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2014/05/terbentuknya-voc-dan-perkembangan-di.html
http://any22akhmad.blogspot.com/2013/03/terbentuknya-pemerintahan-kolonial.html


Subscribe to receive free email updates: