Makalah Penjajahan Pemerintah Belanda
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar belakang kedatangan Belanda ke
Indonesia adalah akibat meletusnya perang delapan puluh tahun antara Belanda
dan Spanyol (1568-1648). Pada awalnya, perang antara Belanda dan Spanyol
bersifat agama, karena Belanda mayoritas beragama kristen protestan sedangkan
orang Spanyol beragama kristen katolik. Perang tersebut kemudian menjadi perang
ekonomi dan politik. Raja Philip II dari Spanyol memerintahkan kota Lisabon
tertutup bagi kapal Belanda pada tahun 1585 selain karena faktor tesebut, juga
karena adanya petunjuk jalan ke Indonesia dari Jan Huygen Van Lischoten, mantan
pelaut Belanda yang bekerja pada Portugis dan pernah sampai di Indonesia.
Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia adalah
untuk berdagang rempah-rempah. Setelah berhasil menemukan daerah penghasil
rempah-rempah dan keuntungan yang besar, Belanda berusaha untuk mengadakan
monopoli perdagangan rempah-rempah dan menjajah. Untuk melancarkan usahanya,
Belanda menempuh beberapa cara seperti pembentukan VOC dan pembentukan
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
Pada awal abad
XIX Jawa setelah pemerintahan Inggris berakhir, yaitu pada tahun 1816,
Indonesia kembali dikuasai oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Pada masa kedua
penjajahan ini, yang sangat terkenal adalah sistem tanam paksa yang diterapkan
oleh Van den Bosch. Pelaksanaannya pun dimulai pada tahun 1830. Terdapat
ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Namun pada
akhirnya, dalam praktek sesungguhnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan.
Terdapat
perbedaan antara penerapan sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh Raffles
serta sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya membawa
dampak yang tidak sedikit bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam perkembangan
sampai dengan paruh pertama abad ke-19,
kebijakan selain bidang perekonomian, dalam bidang pendidikan juga tidak
diabaikan oleh pemerintah Hindia-Belanda, tetapi itu hanya masih berupa rencana
dari pada tindakan nyata. Dalam periode itu pemerintah harus melakukan
penghematan anggaran, biaya untuk menumpas Perang Dipenogoro (1825-1830), dan
untuk pelaksanaan Culturstelsel.
Dalam rangka
usahanya menguasai Indonesia, Belanda secara licik menjalankan politik pecah
belah, sehingga kerajaan-kerajaan yang saling bertentangan itu menjadi lemah.
Kesempatan inilah digunakan oleh Belanda untuk menjajah Indonesia.
B. Rumusan masalah
1.
Bagaimana pemerintahan Republik Bataaf?
2.
Bagaimana perkembangan kolonialisme inggris di
indonesia?
3.
Bagaimana dominasi perkembangan belanda?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pemerintahan Republik Bataaf
2.
Mengetahui perkembangan kolonialisme inggris di
indonesia
3.
Mengetahui dominasi perkembangan belanda
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masa pemerintahan republik bataaf
Pada
tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda. Muncullah kelompok yang menamakan
dirinya kaum patriot. Kaum ini terpengaruh oleh semboyan Revolusi Perancis:
liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan).
Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam Revolusi Perancis itu maka kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan. Bertepatan dengan keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan Perancis menyerbu Belanda. Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai Perancis. Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari Perancis yang dinamakan Republik Bataaf (1795-1806). Sebagai pemimpin Republik Bataaf adalah Louis Napoleon saudara dari Napoleon Bonaparte.
Sementara itu dalam pengasingan, Raja Willem V oleh pemerintah Inggris ditempatkan di Kota Kew. Raja Willem V kemudian mengeluarkan perintah yang terkenal dengan “Surat-surat Kew”. Isi perintah itu adalah agar para penguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya kepada Inggris bukan kepada Perancis. Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia seperti Padang pada tahun 1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda tahun 1796. Inggris juga memperkuat armadanya untuk melakukan blokade terhadap Batavia.
Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam Revolusi Perancis itu maka kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan. Bertepatan dengan keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan Perancis menyerbu Belanda. Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai Perancis. Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari Perancis yang dinamakan Republik Bataaf (1795-1806). Sebagai pemimpin Republik Bataaf adalah Louis Napoleon saudara dari Napoleon Bonaparte.
Sementara itu dalam pengasingan, Raja Willem V oleh pemerintah Inggris ditempatkan di Kota Kew. Raja Willem V kemudian mengeluarkan perintah yang terkenal dengan “Surat-surat Kew”. Isi perintah itu adalah agar para penguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya kepada Inggris bukan kepada Perancis. Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia seperti Padang pada tahun 1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda tahun 1796. Inggris juga memperkuat armadanya untuk melakukan blokade terhadap Batavia.
Sudah barang tentu pihak Perancis dan Republik Bataaf juga tidak ingin ketinggalan untuk segera mengambil alih seluruh daerah bekas kekuasaan VOC di Kepulauan Nusantara. Karena Republik Bataaf ini merupakan vassal dari Perancis, maka kebijakan-kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan di Hindia masih juga terpengaruh oleh Perancis.
Kebijakan yang utama bagi Perancis waktu itu
adalah memerangi Inggris. Oleh karena itu, untuk mempertahankan Kepulauan
Nusantara dari serangan Inggris diperlukan pemimpin yang kuat. Ditunjuklah
seorang muda dari kaum patriot untuk memimpin Hindia, yakni Herman Williem
Daendels. Ia dikenal sebagai tokoh muda yang revolusioner.
1. Pemerintahan Herman Williem Daendels (1808-1811)
H.W.
Daendels sebagai Gubernur Jenderal memerintah di Nusantara pada tahun
1808-1811. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai
Inggris. Sebagai pemimpin yang ditunjuk oleh Pemerintahan Republik Bataaf,
Daendels harus memperkuat pertahanan dan juga memperbaiki administrasi
pemerintahan, serta kehidupan sosial ekonomi di Nusantara khususnya di tanah
Jawa.
Daendels adalah kaum patriot dan
liberal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Revolusi Perancis. Di
dalam berbagai pidatonya, Daendels tidak lupa mengutip semboyan Revolusi
Perancis. Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan
persaudaraan di lingkungan masyarakat Hindia.
Oleh karena itu, ia ingin
memberantas praktik-praktik feodalisme. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat
lebih dinamis dan produktif untuk kepentingan negeri induk (Republik Bataaf).
Langkah ini juga untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sekaligus
membatasi hak-hak para bupati yang terkait dengan penguasaan atas tanah dan
penggunaan tenaga rakyat.
Dalam rangka
mengemban tugas sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesan dari pemerintah
induk, Daendels melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut
bidang pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.
2. Pemerintahan Janssen (1811)
Pada bulan Mei 1811, Daendels
dipanggil pulang ke negerinya. Ia digantikan oleh Jan Willem Janssen. Janssen
dikenal seorang politikus berkebangsaan Belanda. Sebelumnya Janssen menjabat
sebagai Gubernur Jenderal di Tanjung Harapan (Afrika Selatan) tahun
1802-1806.
Pada tahun 1806 itu Janssen terusir
dari Tanjung Harapan karena daerah itu jatuh ke tangan Inggris. Pada tahun 1810
Janssen diperintahkan pergi ke Jawa dan akhirnya menggantikan Daendels pada
tahun 1811. Janssen mencoba memperbaiki keadaan yang telah ditinggalkan Daendels.
Namun harus diingat bahwa beberapa
daerah di Hindia sudah jatuh ke tangan Inggris. Sementara itu penguasa Inggris
di India, Lord Minto telah memerintahkan Thomas Stamford Raffles yang
berkedudukan di Pulau Penang untuk segera menguasai Jawa. Raffles segera
mempersiapkan armadanya untuk menyeberangi Laut Jawa. Pengalaman pahit Janssen
saat terusir dari Tanjung Harapan pun terulang.
Pada Tanggal 4 Agustus 1811 sebanyak
60 kapal Inggris di bawah komando Raffles telah muncul di perairan sekitar Batavia.
Beberapa minggu berikutnya, tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1811 Batavia jatuh
ke tangan Inggris.
Janssen berusaha menyingkir ke
Semarang bergabung dengan Legiun Mangkunegara dan prajurit-prajurit dari
Yogyakarta serta Surakarta. Namun pasukan Inggris lebih kuat sehingga berhasil
memukul mundur Janssen beserta pasukannya. Janssen kemudian mundur ke Salatiga
dan akhirnya menyerah di Tuntang. Penyerahan Janssen secara resmi ke pihak
Inggris ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang pada tanggal 18 September
1811.
B. Perkembangan Kolonialisme Inggris Di Indonesia
1. Awal mula Inggris di
Indonesia
Tanggal 18 September 1811 adalah tanggal dimulainya
kekuasaan Inggris di Hindia. Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi
mengangkat Raffles sebagai penguasanya. Pusat pemerintahan Inggris berkedudukan
di Batavia. Sebagai penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan langkah-langkah
untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan. Dalam rangka menjalankan
pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga prinsip.
Pertama, segala bentuk
kerja rodi dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat.
Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan para bupati
dimasukkan sebagai bagian pemerintah kolonial. Ketiga, atas dasar pandangan
bahwa tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai
penyewa. Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah,
baik yang menyangkut bidang politik pemerintahan.
2. Kebijakan dalam bidang pemerintahan
·
Secara geopolitik, Jawa
dibagi menjadi 16 karesidenan
·
Selanjutnya untuk
memperkuat kedudukan dan mempertahankan keberlangsungan kekuasaan Inggris,
Raffles mengambil strategi membina hubungan baik dengan para pangeran dan
penguasa yang sekiranya membenci Belanda
·
Mengubah sistem
pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem
pemerintahan kolonial yang bercorak barat
·
Bupati-bupati atau
penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya sebagai kepala pribumi.
Mereka dijadikan pegawai pemerintah kolonial yang langsung di bawah kekuasaan
pemerintah pusat
3. Kebijakan dalam Bidang Sosial-Ekonomi
·
Pelaksanaan sistem sewa
tanah atau pajak tanah (land rent) yang kemudian meletakkan dasar bagi
perkembangan sistem perekonomian uang
·
Penghapusan pajak dan
penyerahan wajib hasil bumi
·
Penghapusan kerja rodi
dan perbudakan
·
Misalnya : Raffles dalam
praktiknya melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis
perbudakan. Hal itu terbukti dengan pengiriman kuli-kuli dari Jawa ke Banjarmasin
untuk membantu perusahaan temannya, Alexander Hare, yang sedang mengalami
kekurangan tenaga kerja). Penghapusan sistem monopoli. Pemungutan pajak pada
mulanya secara perorangan. Namun, karena petugas tidak cukup akhirnya dipungut
per desa. Pajak dibayarkan kepada kolektor yang dibantu kepala desa tanpa
melalui bupati. Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam
dengan melawan harimau.
4. Bidang Ilmu Pengetahuan
·
Ditulisnya buku berjudul
History of Java. Dalam menulis buku tersebut, Raffles dibantu oleh juru
bahasanya Raden Ario Notodiningrat dan Bupati Sumenep, Notokusumo II.
·
Memberikan bantuan kepada
John Crawfurd (Residen Yogyakarta) untuk mengadakan penelitian yang
menghasilkan buku berjudul History of the East Indian Archipelago, tahun 1820.
·
Raffles juga aktif dalam
mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
·
Ditemukannya bunga
bangkai yang akhirnya diberi nama Rafflesia Arnoldi.
·
Dirintisnya Kebun Raya
Bogor.
5. Bidang Hukum
·
Sistem peradilan yang
diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels.
·
Apabila Daendels
berorientasi pada warna kulit (ras)
·
Raffles lebih
berorientasi pada besar-kecilnya kesalahan
·
Menurut Raffles,
pengadilan merupakan benteng untuk memperoleh keadilan. Oleh karena itu, harus
ada benteng yang sama bagi setiap warga negara.
·
Raffles memang orang yang
berpandangan maju. Ia ingin memperbaiki tanah jajahan, termasuk ingin
meningkatkan kemakmuran rakyat.
·
Raffles juga sulit
melepaskan kultur sebagai penjajah. Kerja rodi, perbudakan dan juga monopoli
masih juga dilaksanakan. Misalnya kerja rodi untuk pembuatan dan perbaikan
jalan ataupun jembatan, dan melakukan monopoli garam
C.
Dominasi pemerintahan belanda
Tahun 1816
Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda setelah sebelumnya dikuasai
oleh Inggris. Tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama
Komisaris Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI
yang terdiri atas tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold
Ardiaan Buyskes (anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen
(anggota). Dengan tugas utama menormalisasikan keadaan di Hindia Belanda.
Sementara
itu perdebatan antar kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan
tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya belum mencapai
titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan
mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat
diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif berpendapat
pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila langsung
ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.
1. Kebijakan Jalan Tengah
Kebijakan jalan tengah adalah kebijakan yang merupakan jalan
tengah yang diambil diantara pertentangan kaum liberal dan kaum konservatif
dalam mengelola tanah jajahan di Indonesia. Ketiga Komisaris sepakat menerapkan
kebijakan jalan tengah yaitu eksploitasi kekayaan ditanah jajahan langsung
ditangani oleh pemerintah Hindia Belanda.
Namun kebijakan ini tidak berjalan mulus. Akhirnya pada 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi ditanah jajahan adalah Gubernur Jenderal. Van der Capellen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapus peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Kemudian ia dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies. Kebijakan De Bus tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barangbarang yang diekspor.
Namun kebijakan ini tidak berjalan mulus. Akhirnya pada 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi ditanah jajahan adalah Gubernur Jenderal. Van der Capellen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapus peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Kemudian ia dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies. Kebijakan De Bus tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barangbarang yang diekspor.
2. Sistem Tanam Paksa
Tahun 1829
seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda
usulan yang berkaitan dengan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di
Hindia. Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi, di tanah jajahan
harus dilakukan penanaman tanaman yang dapat laku dijual di pasar dunia. Konsep
Bosch itulah kemudian dikenal dengan Cultuur stelsel atau tanam paksa.
3. Ketentuan Tanam
Paksa
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan
perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai
Gubernur Jenderal baru di Jawa. Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu
termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22.
Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.
·
Penduduk
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa.
·
Tanah
pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh
melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
·
Waktu
dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
·
Tanah
yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak
tanah.
·
Hasil
tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada
pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir
melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan
dikembalikan kepada rakyat.
·
Kegagalan
panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan
pemerintah.
·
Penduduk
desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah
pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa
melakukan pengawasan secara umum.
·
Penduduk
yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik
pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun.
4. Pelaksanaan Tanam Paksa
Tanam Paksa dilaksanakan dengan cara sebagai berikut.
·
Sistem
tanam paksa harus menggunakan organisasi desa
·
Pengerahan
tenaga kerja melalui sambatan, gotong royong, gugur gunung
·
Peran
kepala desa sangat sentral sebagai penggerak petani, penghubung dengan atasan
dan pejabat pemerintah
Tanam paksa yang dilaksanakan telah membawa penderitaan rakyat.
Banyak pekerja yang jatuh sakit. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam
Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan
kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di
Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 1850.
Walaupun banyak merugikan rakyat, namun Tanam Paksa juga
memiliki beberapa dampak positif bagi rakyat, diantaranya adalah dikenalkan
tanaman jenis baru untuk ekspor, dibangun saluran irigasi, dan dibangun jaringan
rel kereta api. Sedangkan dampak negatifnya adalah sebagai berikut.
·
Pelaksanaan
tanam paksa tidak sesuai dengan peraturan
·
Terjadi
tindak korupsi dari pegawai dan pejabat dan rakyat sangat menderita
·
Para
pekerja jatuh sakit dan terjadi bahaya kelaparan
·
Hindia
Belanda mengeruk keuntungan 832 jt gulden 1831- 1877
3. Sistem Usaha Swasta
Masyarakat
Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa.
Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa. Pihak yang pro Tanam
Paksa tetap adalah kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah, sedangkan
yang kontra adalah mereka dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas
liberalisme.
Setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen (Staten Generaal). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya perubahan dan pembaruan. Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak Gula) tulisan Frans van de Pute. Secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal.
Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
·
Tahun
1864 dikeluarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet).
Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus
diketahui dan disahkan oleh Parlemen.
·
Undang-undang
Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli
tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan
kepada pihak swasta.
·
Undang-undang
Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur tentang
prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu
ditegaskan, antara lain : Pertama, Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda
dibagi menjadi dua. Pertama, milik pribumi berupa persawahan, kebun,dll. Kedua
tanah hutan pegunungan, dll milik pemerintah. Kedua, Pemerintah mengeluarkan
surat bukti kepemilikan tanah. Ketiga, Pihak swasta dapat menyewa tanah. Tanah
pemerintah disewa sampai 75 tahun, tanah penduduk sampai 5 tahun
Sejak UU
Agraria, pihak swasta banyak emasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Munculnya
imperalisme modern, kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi
sebagai: tempat mendapat bahan mentah dan penanaman modal asing, tempat
pemasaran hasil industri dari Eropa, dan penyedia tenaga kerja yang murah.
Sisi positif kebijakan ini antara lain pada tahun 1873
dibangun serangkaian jalan kereta api, tahun 1872 dibangun pelabuhan tanjung
priok, Belawan, Teluk Bayur, dan 1883 maskapai tembakau Deli memprakarsai
pembangunan jalan kereta api. Sedangkaan dampak negatifnya adalah pelaksanaan
usaha swasta membawa penderitaan bagi rakyat bumiputera, pertanian merosot,
rakyat kerja paksa dan membayar pajak
4. Masuknya Agama Kristen
Perkembangan
agama Kristen di Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua,
yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Dalam kenyataannya agama Kristen
Katolik dan Kristen Protestan berkembang di berbagai daerah. Bahkan di daerah
Indonesia bagian Timur seperti di Papua, daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara
Timur, juga daerah Tapanuli di Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas.
Pada tahun
650 agama Kristen sudah mulai berkembang di Kedah (Semenanjung Malaya) dan
sekitarnya. Pada abad ke-9 Kedah berkembang menjadi pelabuhan dagang yang
sangat ramai di jalur pelayaran yang menghubungkan India-Aceh-Barus-
Nias-melalui Selat Sunda-Laut Jawa dan terus ke Cina. Jalur inilah yang disebut
sebagai jalur penyebaran agama Kristen dari India ke Nusantara.
Agama Kristen
(Katolik dan Protestan) masuk dengan cara damai melalui kegiatan pelayaran dan
perdagangan. Agama ini tumbuh di daerah-daerah pantai di Semenanjung Malaya dan
juga pantai barat di Sumatera.
Kedatangan
bangsa-bangsa Barat itu semakin memantapkan dan mempercepat penyebaran agama
Kristen di Indonesia. Orang-orang Portugis menyebarkan agama Kristen Katolik
(selanjutnya disebut Katolik). Orangorang Belanda membawa agama Kristen
Protestan (selanjutnya disebut Kristen).
Agama Katolik dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua,
wilayah Timur Kepulauan Indonesia pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak
di Sumatera. Singkatnya agama Katholik dan Kristen dapat berkembang di berbagai
tempat di Indonesia, termasuk di Batavia dan Jawa pada umumnya. Bahkan di Jawa
ada sebutan Kristen Jawa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Belanda datang pertama kali ke
Indonesia pada tahun 1596-1811, dan yang kedua kalinya pada tahun 1814-1904.
Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia adalah untuk memonopoli perdagangan
rempah-rempah di Indonesia. Dan untuk melancarkan usahanya, Belanda menempuh
beberapa cara yaitu membentuk VOC pada tahun 1902 dan membentuk pemerintahan
kolonial Hindia-Belanda. Setelah masa penjajahan itu usai, Belanda meninggalkan
kebudayaan dan kebijakan-kebijakan yang sebagian masih dipakai oleh Indonesia.
Indonesia pada
masa pemerintahan Hindia-Belanda abad XIX sudah mengalami berbagai pergantian
Gubernur Jendral tetapi yang paling menyengsarakan rakyat yaitu pada masa
Gubjen, Rafles, Daendels, Van den Bosch, dan van Hogendrop. Yang menerapkan
system tanam paksa, penyerahan wajib hasil pertanian, penyewaan tanah kepada
rakyat, penyewaan desa pada pihak swasta dan pembuatan jalan dari Anyer sampai
Panarukan.
DAFTAR PUSTAKA
http://herlinaherli.blogspot.com/2013/12/awal-kedatangan-belanda-di-indonesia.html
http://akbar-el-hamed.blogspot.com/2012/05/sejarah-kedatangan-voc-ke-indonesia.html
http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2014/05/terbentuknya-voc-dan-perkembangan-di.html
http://any22akhmad.blogspot.com/2013/03/terbentuknya-pemerintahan-kolonial.html