Sistem pemerintahan negara RI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pembagian kekuasaan pemerintahan seperti didapat garis-garis besarnya dalam susunan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah bersumber kepada susunan ketatanegaraan Indonesia asli, yang dipengaruhi besar oleh pikiran-pikiran falsafah negara Inggris, Perancis, Arab, Amerika Serikat dan Soviet Rusia. Aliran pikiran itu oleh Indonesia dan yang datang dari luar, diperhatikan sungguh-sungguh dalam pengupasan ketatanegaraan ini, semata-mata untuk menjelaskan pembagian kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi proklamasi.
Pembagian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia 1945 berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal garis-garis besarnya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia; tetapi pengaruh dari luar; diambil tindakan atas tiga kekuasaan, yang dinamai Trias Politica, seperti dikenal dalam sejarah kontitusi di Eropa Barat dan amerika Serikat.
Ajaran Trias Politica diluar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar pembagian kekuasaan, dan pembagian atas tiga cabang kekuasaan (Trias Politica) adalah hanya akibat dari pemikiran ketatanegaraan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang pemerintah dan untuk menjamin kebebasan rakyat yang terperintah.





B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pembagian kekuasaan negara menurut UUD 1945?
2.      Bagaimana sistem check and balance menurut UUD 1945?

C.    Tujuan Masalah

1.      Mengetahui pembagian kekuasaan negara menurut UUD 1945
2.      Mengetahui sistem check and balance menurut UUD 1945






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembagian kekuasaan negara menurut UUD 1947
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif  yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
Susunan organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 baik baik sebelum maupun sesudah perubahan. Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Pertimbagan Agung (DPA)
(4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
Badan-badan kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga Negara. Sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga Negara tersebut diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga tertinggi Negara, sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti presiden, DPR, BPK, DPA dan MA disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara itu menurut hasil perubahan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
(5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
(7) Mahkamah Konstitusi (MK)
Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan.
Dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada, yaitu;
B. Sistem check and balances menurut uud 1945
1.         Check and Balances MPR
Pasca amandemen UUD 1945, sebagaimana yang penulis paparkan di atas bahwa kedudukan MPR dan lembaga-lembaga negara lainnya adalah sama, namun menurut pandangan penulis MPR masih cukup tinggi dalam memposisikan dirinya, hal ini terlihat dari kewenangannya dalam memberhentikan Presiden atau Impeachment. Kewenangan MPR tersebut pun adalah merupakan pelaksanaan sistem check and balances dimana dalam melaksanakan impeachment terhadap Presiden atau Wakil Presiden, MPR pun harus menunggu pendapat DPR dan Proses Persidangan oleh MK.
Check and balances oleh MPR merupakan mekanisme tertinggi dalam mengawasi DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam hal Pemakzulan atau Impeachment Presiden dan atau wakil presiden, DPR harus mengawali proses melalui hak menyatakan pendapat yang dimiliki yang kemudian dengan mekanisme dimana diatur pada pasal 7B UUD 1945. MPR tidak bisa begitu saja memberhentikan Presiden Sebelum ada Pendapat DPR, begitu juga DPR yang tidak bisa begitu saja berpendapat sebelum ada putusan dari MK yang membenarkan pendapatnya, inilah yang menurut penulis merupakan mekanisme check and balances system yang tertuang di dalam konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada pihak yang otoriter dengan alasan suka atau tidak suka kepada Presiden atau Wakil Presiden, tetapi segala sesuatunya haruslah didasarkan oleh hukum,oleh karena itu proses-proses yang dilalui dalam mekanisme Impeachment merupakan proses check and balances yang kembali dimana setiap lembaga saling mengawasi satu dengan yang lain.
Selain dalam hal Impeachment, dalam asas peraturan perundang-undangan MPR pun memiliki kedudukan yang cukup tinggi dimana dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) produk hukum MPR yang disebut Ketetapan MPR (Tap. MPR) memiliki posisi yang lebih tinggi dari Undang-Undang dan di bawahnya. Dalam UU PPP, Tap. MPR berada di bawah UUD dan di atas undang-undang sehingga dalam asas lex superior de rogat lex imperior maka undang-undang tidak boleh bertentangan dengan Tap. MPR karena kedudukan Tap. MPR lebih tinggi.
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memang sebenarnya secara akademis masih perlu diteliti kembali terkait kehadiran Tap.MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan namun berbicara hari ini maka kita pun masih mendasarkan diri pada undang-undang a quo.
Sebagaimana pendapat penulis di atas, kedudukan Tap.MPR dalam Hierarki peraturan perundang-undangan adalah merupakan upaya dalam mekanisme check and balances dimana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang dan di bawahnya harus mempertimbangkan Tap.MPR sebagai salah satu sumber hukum tertulis karena Tap.MPR merupakan produk hukum yang kedudukannya di atas undang-undang sehingga jika dikemudian hari ditemukan undang-undang dan yang di bawahnya bertentangan dengan Tap.MPR maka hal tersebut dapat dibatalkan.
2.         Check and Balances DPR
Mekanisme check and balances merupakan saah satu tuntutan reformasi. Salah satu tujuan utama mekanisme adalah untuk menghindari pemusatan kekuasaan pada satu lembaga saja. Selain itu, mekanisme ini juga berperan sebagai pengawas. Antar lembaga-lembaga negara dapat saling, mengawasi dan dapat langsung bertindak jika ada lembaga negara lain yang bertindak melebihi kewenangannya. Sistem check and balances ini yang menjadi pedoman pelaksanaan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR.
Sistem check and balances pada Dewan Perwakilan Rakyat jauh lebih tampak daripada lembaga-lembaga negara yang lain, hal ini sebagaimana fungsi yang melekat daripadanya yaitu fungsi pengawasan atau controling yang diatur pada pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Pengawasan yang dilakukan oleh DPR sebenarnya sama saja dengan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara yang lain sepanjang diterjemahkan dalam mekanisme check and balances, akan tetapi dapat kita lihat pengawasan yang dilakukan oleh DPR sepertinya jauh lebih luas daripada lembaga-lembaga yang lainnya, hal ini yang sebenarnya dapat merubah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang merupakan penganut sistem pemerintahan Presidensiel namun dengan dominannya peran DPR maka penulis berpendapat bahwa kini Indonesia menganut sistem pemerintahan Semi Parlementer. Semi parlementer maksud penulis adalah karena mekanisme pelaksanaan roda pemerintahan masih bersama-sama dengan Presiden.
Keluasan kewenangan DPR dalam tindakan pengawasan salah satunya dapat dilihat dari tugas DPD yaitu pasal 22D ayat (3) UUD 1945 dimana hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPD dalam mengawasi pelaksanaan undang-undang itu harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak ada pasal yang mengatur sebaliknya padahal yang kita bicarakan adalah sistem check and balances atau perimbangan kekuasaan, dengan kata lain aturan dalam UUD 1945 itu pun tidak seimbang diterapkan kepada DPD. Maka tidak heran kalau banyak suara yang menuding pasal-pasal 22 hasil amandemen itu menunjukkan betapa lemahnya kedudukan dan peran DPD, dibandingkan DPR.
Selain terhadap DPD, otoriteritas DPR dapat dilihat dalam wewenang legislasi yang dimiliki, dimana DPR memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Apabila RUU tersebut tidak mendapat persetujuan bersama, maka RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR pada masa tersebut. Berdasarkan Pasal 20A UUD 1945 DPR lah yang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Inilah beberapa keotoriteritasan DPR dalam hubungan antar lembaga. Namun walau bagaimanapun menurut penulis keberadaan DPR dalam sistem ketatanegaraan maupun mekanisme check and balances cukup baik, hal-hal yang demikian di atas tidak perlu untuk dipermasalahkan dalam tataran yang sempit namun dalam tataran akademis untuk kemajuan negara perubahan-perubahan dan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik perlu dilakukan dengan cara harmonisasi hubungan antar lembaga negara.
3.         Check and Balances DPD
Pemikiran tentang Lembaga Dewan Perwakilan Daerah ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain diadakan atau dibentuk untuk menganti anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari unsur Utusan Daerah yang tidak dapat mencerminkan aspirasi daerah. Ada juga pemikiran yang mendorong lahirnya Lembaga Dewan Perwakilan Daerah itu ialah keikutsertaan daerah dalam Utusan Daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat sangat terbatas yaitu pada saat sidang-sidang majelis saja.
Bersama DPR, DPD diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem parlementer dua kamar dalam format baru perwakilan politik Indonesia. Jika DPR merupakan parlemen yang mewakili peduduk DPD adalah parlemen yang mewakili wilayah atau daearah dalam hal ini provinsi. Tetapi, struktur ini tidak sepenuhnya mencerminkan sistem bikameral. DPD yang semestinya salah satu kamar dari sistem dua kamar, tidak mempunyai kekuasaan yang memadai. Kewenangan DPD hanya terbatas pada kekuasaan-kekuasaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 22D UUD 1945. Di luar itu, kekuasaan DPD hanya memberi pertimbangan kepada DPR. Dengan demikian, keberadaan DPD relatif tidak berfungsi.
Meskipun merupakan representasi daerah-daerah yang telah dipilih langsung oleh rakyat namun keberadaan DPD dapat diibaratkan antara ”ada dan tiada”. Betapa tidak karena fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas tidak seperti yang dimiliki oleh DPR. Dampak lainnya adalah, tidak terjadi checks and balances antara DPR dan DPD itu sendiri.
Perubahan UUD 1945 yang merupakan momentum awal terbentuknya DPD menegaskan adanya keseimbangan dan kesejajaran antar lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Reformasi konstitusi juga menghasilkan perubahan yang cukup mendasar dalam sistem ketatanegaraan kita yaitu dengan pengaturan kembali lembaga-lembaga yang mengemban amanat konstitusi termasuk pembentukan lembaga-lembaga konstitusional baru.
Kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan sangat kuat dengan kekuasaan yang cenderung berlebihan berdasarkan UUD 1945. Sesuai dengan pasal 22D ayat (1) yang menyatakan DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sda dan sumber daya ekonomi laenya, serta berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah.
Mencermati ketentuan Pasal tersebut ada 2 (dua) kesimpulan. Pertama DPD hanya dapat mengajukan rancangan undang-undang ke DPR, hal tersebut jelas berbeda dengang ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan pasal 21 UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang. Kedua, lingkup rancangan undang-undang yang dapat diajukan oleh DPD sangat terbatas, yakni hanya untuk urusan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya, serta berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah.
Dengan kewenanganya yang terbatas itu, Saldi Isra secara tegas menyatakan bahwa DPD tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi legislasi. Lebih lanjut Saldi Isra menyatakan bahwa "fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui rancangan undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata tersebut dimana kekuasaan membentuk undang-undang berada ditangan DPR. Dengan menggunakan cara a contrario, sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang dapat mengajukan dan ikut membahas RUU bidang tertentu sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (2) DPD tidak mempunyai fungsi legislasi.
Dari ketentuan perundang-undangan tersebut jelas terlihat bahwa DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangaanya dan dari ketentuan perundang-undangan tersebut juga jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral secara umum dalam teori-teori kenegaraan, yakni fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar berimbang (balances) dalam proses legislasi dan pengawasan.
Melihat ketidak seiambangan kekuasaan yang dimiliki antara DPR dengan DPD, maka pada tahun 2012 yang lalu DPD mengajukan pengujian undang-undang tentang MD3 kepada MK dimana di dalam undang-undang MD3 inilah ketidak seimbangan kewenangan jelas terlihat, alhasil dalam putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 Mahkamah memutuskan yang beberapa pasal yang dimohonkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat pasca putusan MK tersebut. Hal ini dipandang positif baik oleh DPD maupun DPR karena pasca putusan MK tersebut kedudukan DPR dan DPD kembali jelas dan sama. Sebagaimana disampaikanTodung Mulya Lubis selaku Kuasa Hukum DPD (Pemohon) “Arsitektur ketatanegaraan, khususnya proses legislasi, mengalami penyesuaian pasca-putusan. Act of deliberacy tidak lagi monopoli DPR dan Presiden. Proses legislasi menjadi kewenangan konstitusional DPR, DPD, dan Presiden. Sebagai hari bersejarah, this is the millstone, this is the confirmation of DPD.”
Penulis berpendapat bahwa dengan kembalinya tahta DPD yang setara dengan DPR dan lembaga negara lainnya adalah merupakan bentuk perjalanan check and balances dimana dalam sistem ini tidak ada lembaga yang memiliki kewenangan berlebihan yang diberikan oleh UUD sehingga berdasarkan sistem check and balances ini juga DPD mendapatkan kewenangannya dengan adil. Putusan Mahkamah Konstitusi ini pun kembali menegaskan bagaimana sebuah aturan yang kedudukannya lebih rendah daripada konstitusi tidak boleh bertentangan ataupun melawan apa yang telah diamanatkan di dalam konstitusi.

4.         Check and Balances DPRD
Dalam UUD 1945 penulis tidak menemukan pengertian dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam Undang-Undang MD3 disebut pada pasal 1 angka 4 yaitu “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Seperti disampaikan tersebut, pengertian DPRD merujuk pada konstitusi yaitu UUD 1945 akan tetapi di dalam UUD 1945 tidak ada pengertian tentang DPRD. Artinya secara konstitusional pengertian daripada DPRD tidak tercantum atau tidak diatur dalam UUD 1945.
Pengertian tentang DPRD terdapat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana pada pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
DPRD sama halnya dengan DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat yang bertugas untuk mengakomodir aspirasi rakyat. Dari segi kedudukan dalam Pemerintahan, antara DPR dengan DPRD berbeda dimana DPR terlepas dari Pemerintah Pusat namun DPRD merupakan bagian daripada Pemerintahan Daerah. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Dengan kedudukan yang berbeda seperti itu, proses pengawasan menjadi berbeda namun menurut penulis keberanian daripada DPRD baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota adalah merupakan tindakan yang tepat guna mewujudkan sistem kekuasaan yang berimbang atau check and balances system.
Dalam pelaksanaan undang-undang, pemerintah daerah tentu mengakomodir ke dalam aturan yang lebih khusus agar dapat dilaksanakan sebagaimana kewenangannya dalam mengatur daerah. Aturan khusus yang dimaksud adalah Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten Kota. Kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabuoaten Kota kini telah lebih jelas pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana pada pasal 7 ayat (1) mengatur tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang terdiri atas:
a.         Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.        Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.         Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.        Peraturan Pemerintah;
e.         Peraturan Presiden;
f.         Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.        Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan pengaturan yang jelas seperti itu maka dalam pelaksanaan sistem check and balances maka DPRD dapat langsung mengatur dalam aturannya sendiri. Sistem check and balances yang dapat diwujudkan oleh DPRD terhadap DPR adalah tentang bagaimana meng-harmonisasikan produk hukum antara superior dengan imperior dimana dalam membuat peraturan daerah, DPRD wajib untuk mempertimbangkan undang-undang sebagai rujukan lebih tinggi dalam membentuk Peraturan Daerah (Perda).
Pada tahun 2011, ada Empat Ribu Perda di Indonesia dibatalkan. Banyaknya jumlah tersebut adalah salah satu bentuk kegagalan dari sistem check and balances dimana DPRD bersama-sama dengan Kepala Daerah terkadang memiliki pendapat yang berbeda dengan aturan di atasnya (undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah) sehingga menjadi keluar dari koridor yang telah ditentukan yang pada akhirnya berujung pada pembatalan peraturan tersebut.
Dalam sistem check and balances adalah mengharmonisasikan undang-undang dengan kebutuhan masyarakat di daerah yang kemudian diatur dengan aturan tersendiri (spesialis) yaitu peraturan daerah, baik peraturan daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten Kota, jika dalam peraturan daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota sudah koheren dengan undang-undang maka wujud dari sistem check and balances pun dapat dikatakan berjalan dengan baik.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
         Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat.
Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran Trias Politica karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara terdiri dari Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang, Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang, Badan judikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan megadilinya
Menurut UUD 1945 penyelenggaran negara pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkmah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK).
B.     Saran

Sudah saatnya, kita bersama-sama bergerak untuk mencapai angan demokrasi yang telah dicita-citakan oleh para pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Indonesia. Unsur-unsur demokrasi yang kadang menjadi akar permasalahan harus bisa diselesaikan dan diperbaiki, karena konsep demokrasi bukan hak paten yang tidak bisa diubah. Ia harus bersifat dinamis dan bisa mengikuti kultur sosial- politik-budaya Negara yang menggunakannya sebagai asas negara.



DAFTAR PUSTAKA

C. S. T. Kansil, S.H. dan Christine S. T. Kansil, S.H., M.H. 2005. Sistem Pemerintahan Indonesia. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Setiadi, M. Elly. 2005. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sidjabat, W. Bonar. 1968. “Notulen Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”. Ragi Buana. Syafiie, Inu Kencana. 2011. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. SITUS WEB AnneAhira.com


Subscribe to receive free email updates: