Sistem pemerintahan negara RI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembagian kekuasaan pemerintahan seperti didapat garis-garis
besarnya dalam susunan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah
bersumber kepada susunan ketatanegaraan Indonesia asli, yang dipengaruhi besar
oleh pikiran-pikiran falsafah negara Inggris, Perancis, Arab, Amerika Serikat
dan Soviet Rusia. Aliran pikiran itu oleh Indonesia dan yang datang dari luar,
diperhatikan sungguh-sungguh dalam pengupasan ketatanegaraan ini, semata-mata untuk
menjelaskan pembagian kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi proklamasi.
Pembagian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia 1945
berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal garis-garis besarnya dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia; tetapi pengaruh dari luar; diambil tindakan
atas tiga kekuasaan, yang dinamai Trias Politica, seperti dikenal dalam sejarah
kontitusi di Eropa Barat dan amerika Serikat.
Ajaran Trias Politica diluar negeri pada hakikatnya
mendahulukan dasar pembagian kekuasaan, dan pembagian atas tiga cabang
kekuasaan (Trias Politica) adalah hanya akibat dari pemikiran ketatanegaraan
untuk memberantas tindakan sewenang-wenang pemerintah dan untuk menjamin
kebebasan rakyat yang terperintah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pembagian kekuasaan negara menurut UUD 1945?
2.
Bagaimana sistem check and balance menurut UUD 1945?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui pembagian kekuasaan negara menurut UUD 1945
2.
Mengetahui sistem check and balance menurut UUD 1945
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian kekuasaan negara menurut UUD 1947
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945,
tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas
menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik
indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias
politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga
yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan
tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya
masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan
tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran
pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran
tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan,
dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada
suatu alat perlengkapan negara.
Susunan organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan
negara atau lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 baik baik sebelum
maupun sesudah perubahan. Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945
sebelum perubahan yaitu :
(1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan
Pertimbagan Agung (DPA)
(4) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
(5) Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah
Agung (MA)
Badan-badan kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga Negara.
Sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga Negara tersebut diklasifikasikan,
yaitu MPR adalah lembaga tertinggi Negara, sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan
lainnya seperti presiden, DPR, BPK, DPA dan MA disebut sebagai lembaga tinggi
Negara.
Sementara itu menurut hasil perubahan lembaga-lembaga negara
yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
(4) Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
(5) Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah
Agung (MA)
(7) Mahkamah
Konstitusi (MK)
Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan
lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari
yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga
Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain,
hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan.
Dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian
kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur
didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada,
yaitu;
B. Sistem check
and balances menurut uud 1945
1.
Check
and Balances MPR
Pasca
amandemen UUD 1945, sebagaimana yang penulis paparkan di atas bahwa kedudukan
MPR dan lembaga-lembaga negara lainnya adalah sama, namun menurut pandangan
penulis MPR masih cukup tinggi dalam memposisikan dirinya, hal ini terlihat
dari kewenangannya dalam memberhentikan Presiden atau Impeachment.
Kewenangan MPR tersebut pun adalah merupakan pelaksanaan sistem check and
balances dimana dalam melaksanakan impeachment terhadap Presiden
atau Wakil Presiden, MPR pun harus menunggu pendapat DPR dan Proses Persidangan
oleh MK.
Check
and balances oleh MPR merupakan mekanisme tertinggi dalam
mengawasi DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam hal Pemakzulan
atau Impeachment Presiden dan atau wakil presiden, DPR harus mengawali
proses melalui hak menyatakan pendapat yang dimiliki yang kemudian dengan
mekanisme dimana diatur pada pasal 7B UUD 1945. MPR tidak bisa begitu saja
memberhentikan Presiden Sebelum ada Pendapat DPR, begitu juga DPR yang tidak
bisa begitu saja berpendapat sebelum ada putusan dari MK yang membenarkan
pendapatnya, inilah yang menurut penulis merupakan mekanisme check and
balances system yang tertuang di dalam konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar
tidak ada pihak yang otoriter dengan alasan suka atau tidak suka kepada
Presiden atau Wakil Presiden, tetapi segala sesuatunya haruslah didasarkan oleh
hukum,oleh karena itu proses-proses yang dilalui dalam mekanisme Impeachment
merupakan proses check and balances yang kembali dimana setiap
lembaga saling mengawasi satu dengan yang lain.
Selain
dalam hal Impeachment, dalam asas peraturan perundang-undangan MPR pun
memiliki kedudukan yang cukup tinggi dimana dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) produk hukum MPR
yang disebut Ketetapan MPR (Tap. MPR) memiliki posisi yang lebih tinggi dari
Undang-Undang dan di bawahnya. Dalam UU PPP, Tap. MPR berada di bawah UUD dan
di atas undang-undang sehingga dalam asas lex superior de rogat lex imperior
maka undang-undang tidak boleh bertentangan dengan Tap. MPR karena kedudukan
Tap. MPR lebih tinggi.
Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memang sebenarnya secara
akademis masih perlu diteliti kembali terkait kehadiran Tap.MPR dalam hierarki
Peraturan Perundang-Undangan namun berbicara hari ini maka kita pun masih
mendasarkan diri pada undang-undang a quo.
Sebagaimana
pendapat penulis di atas, kedudukan Tap.MPR dalam Hierarki peraturan
perundang-undangan adalah merupakan upaya dalam mekanisme check and balances
dimana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang
dan di bawahnya harus mempertimbangkan Tap.MPR sebagai salah satu sumber hukum
tertulis karena Tap.MPR merupakan produk hukum yang kedudukannya di atas
undang-undang sehingga jika dikemudian hari ditemukan undang-undang dan yang di
bawahnya bertentangan dengan Tap.MPR maka hal tersebut dapat dibatalkan.
2.
Check
and Balances DPR
Mekanisme check and balances merupakan
saah satu tuntutan reformasi. Salah satu tujuan utama mekanisme adalah untuk
menghindari pemusatan kekuasaan pada satu lembaga saja. Selain itu, mekanisme
ini juga berperan sebagai pengawas. Antar lembaga-lembaga negara dapat saling,
mengawasi dan dapat langsung bertindak jika ada lembaga negara lain yang
bertindak melebihi kewenangannya. Sistem check and balances ini yang
menjadi pedoman pelaksanaan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR.
Sistem check
and balances pada Dewan Perwakilan Rakyat jauh lebih tampak daripada
lembaga-lembaga negara yang lain, hal ini sebagaimana fungsi yang melekat
daripadanya yaitu fungsi pengawasan atau controling yang diatur pada
pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Pengawasan yang dilakukan oleh DPR sebenarnya sama
saja dengan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara yang lain
sepanjang diterjemahkan dalam mekanisme check and balances, akan tetapi
dapat kita lihat pengawasan yang dilakukan oleh DPR sepertinya jauh lebih luas
daripada lembaga-lembaga yang lainnya, hal ini yang sebenarnya dapat merubah
sistem ketatanegaraan di Indonesia yang merupakan penganut sistem pemerintahan
Presidensiel namun dengan dominannya peran DPR maka penulis berpendapat bahwa
kini Indonesia menganut sistem pemerintahan Semi Parlementer. Semi parlementer
maksud penulis adalah karena mekanisme pelaksanaan roda pemerintahan masih
bersama-sama dengan Presiden.
Keluasan
kewenangan DPR dalam tindakan pengawasan salah satunya dapat dilihat dari tugas
DPD yaitu pasal 22D ayat (3) UUD 1945 dimana hasil pengawasan yang dilakukan
oleh DPD dalam mengawasi pelaksanaan undang-undang itu harus melaporkan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak ada pasal yang mengatur sebaliknya padahal
yang kita bicarakan adalah sistem check and balances atau perimbangan
kekuasaan, dengan kata lain aturan dalam UUD 1945 itu pun tidak seimbang diterapkan
kepada DPD. Maka tidak heran kalau banyak
suara yang menuding pasal-pasal 22 hasil amandemen itu menunjukkan betapa
lemahnya kedudukan dan peran DPD, dibandingkan DPR.
Selain terhadap DPD, otoriteritas DPR dapat dilihat dalam
wewenang legislasi yang dimiliki, dimana DPR memegang kekuasaan untuk membentuk
undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden
untuk mendapat persetujuan bersama. Apabila RUU tersebut tidak mendapat
persetujuan bersama, maka RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR pada masa tersebut. Berdasarkan Pasal 20A UUD 1945 DPR lah yang
memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan
undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Inilah beberapa keotoriteritasan
DPR dalam hubungan antar lembaga. Namun walau bagaimanapun menurut penulis
keberadaan DPR dalam sistem ketatanegaraan maupun mekanisme check and
balances cukup baik, hal-hal yang demikian di atas tidak perlu untuk
dipermasalahkan dalam tataran yang sempit namun dalam tataran akademis untuk
kemajuan negara perubahan-perubahan dan perbaikan menuju ke arah yang lebih
baik perlu dilakukan dengan cara harmonisasi hubungan antar lembaga negara.
3.
Check
and Balances DPD
Pemikiran tentang Lembaga Dewan Perwakilan Daerah ini
didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain diadakan atau dibentuk untuk
menganti anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari unsur Utusan Daerah yang
tidak dapat mencerminkan aspirasi daerah. Ada juga pemikiran yang mendorong
lahirnya Lembaga Dewan Perwakilan Daerah itu ialah keikutsertaan daerah dalam
Utusan Daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat sangat terbatas yaitu pada saat
sidang-sidang majelis saja.
Bersama DPR, DPD diharapkan
menjadi salah satu kamar dari sistem parlementer dua kamar dalam format baru
perwakilan politik Indonesia. Jika DPR merupakan parlemen yang mewakili peduduk
DPD adalah parlemen yang mewakili wilayah atau daearah dalam hal ini provinsi.
Tetapi, struktur ini tidak sepenuhnya mencerminkan sistem bikameral. DPD yang
semestinya salah satu kamar dari sistem dua kamar, tidak mempunyai kekuasaan
yang memadai. Kewenangan DPD hanya terbatas pada kekuasaan-kekuasaan yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
ekonomi lainnya, serta masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 22D UUD 1945. Di luar itu,
kekuasaan DPD hanya memberi pertimbangan kepada DPR. Dengan demikian,
keberadaan DPD relatif tidak berfungsi.
Meskipun merupakan representasi
daerah-daerah yang telah dipilih langsung oleh rakyat namun keberadaan DPD
dapat diibaratkan antara ”ada dan tiada”. Betapa tidak karena fungsi dan
wewenang yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas tidak seperti yang dimiliki oleh
DPR. Dampak lainnya adalah, tidak terjadi checks and balances antara
DPR dan DPD itu sendiri.
Perubahan UUD 1945 yang merupakan momentum awal terbentuknya DPD menegaskan adanya keseimbangan
dan kesejajaran antar lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, yudikatif, dan
legislatif. Reformasi konstitusi juga menghasilkan perubahan yang cukup
mendasar dalam sistem ketatanegaraan kita yaitu dengan pengaturan kembali
lembaga-lembaga yang mengemban amanat konstitusi termasuk pembentukan
lembaga-lembaga konstitusional baru.
Kedudukan DPR sebagai lembaga
perwakilan sangat kuat dengan kekuasaan yang cenderung berlebihan berdasarkan UUD
1945. Sesuai dengan pasal 22D
ayat (1) yang menyatakan DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sda dan sumber
daya ekonomi laenya, serta berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah.
Mencermati ketentuan Pasal tersebut ada 2 (dua)
kesimpulan. Pertama DPD hanya dapat mengajukan rancangan undang-undang ke DPR,
hal tersebut jelas berbeda dengang ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan pasal 21 UUD
1945 yang menyatakan Presiden dan DPR berhak mengajukan rancangan
undang-undang. Kedua, lingkup rancangan undang-undang yang dapat diajukan oleh
DPD sangat terbatas, yakni hanya untuk urusan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya, serta berkaitan dengan
perimbangan pusat dan daerah.
Dengan kewenanganya yang terbatas itu, Saldi Isra
secara tegas menyatakan bahwa DPD tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi
legislasi. Lebih lanjut Saldi Isra menyatakan bahwa "fungsi legislasi
harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui
rancangan undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata
tersebut dimana kekuasaan membentuk undang-undang berada ditangan DPR. Dengan
menggunakan cara a contrario, sebagai bagian dari lembaga
perwakilan rakyat yang dapat mengajukan dan ikut membahas RUU bidang tertentu
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (2) DPD tidak mempunyai fungsi
legislasi.
Dari ketentuan perundang-undangan
tersebut jelas terlihat bahwa DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang
berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat
DPR melaksanakan kewenangaanya dan dari ketentuan
perundang-undangan tersebut juga jelas terlihat bahwa sistem bikameral
yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral
secara umum
dalam teori-teori kenegaraan, yakni fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua
kamar berimbang (balances) dalam proses legislasi dan pengawasan.
Melihat ketidak seiambangan kekuasaan yang dimiliki
antara DPR dengan DPD, maka pada tahun 2012 yang lalu DPD mengajukan pengujian
undang-undang tentang MD3 kepada MK dimana di dalam undang-undang MD3 inilah
ketidak seimbangan kewenangan jelas terlihat, alhasil dalam putusan MK Nomor
92/PUU-X/2012 Mahkamah memutuskan yang beberapa pasal yang dimohonkan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat pasca putusan MK tersebut. Hal ini dipandang
positif baik oleh DPD maupun DPR karena pasca putusan MK tersebut kedudukan DPR
dan DPD kembali jelas dan sama. Sebagaimana disampaikanTodung Mulya Lubis
selaku Kuasa Hukum DPD (Pemohon) “Arsitektur
ketatanegaraan, khususnya proses legislasi, mengalami penyesuaian
pasca-putusan. Act of deliberacy tidak lagi monopoli DPR dan Presiden. Proses legislasi
menjadi kewenangan konstitusional DPR, DPD, dan Presiden. Sebagai hari
bersejarah, this is the millstone, this is the confirmation of DPD.”
Penulis berpendapat
bahwa dengan kembalinya tahta DPD yang setara dengan DPR dan lembaga negara
lainnya adalah merupakan bentuk perjalanan check and balances dimana
dalam sistem ini tidak ada lembaga yang memiliki kewenangan berlebihan yang
diberikan oleh UUD sehingga berdasarkan sistem check and balances ini
juga DPD mendapatkan kewenangannya dengan adil. Putusan Mahkamah Konstitusi ini
pun kembali menegaskan bagaimana sebuah aturan yang kedudukannya lebih rendah
daripada konstitusi tidak boleh bertentangan ataupun melawan apa yang telah
diamanatkan di dalam konstitusi.
4.
Check
and Balances DPRD
Dalam
UUD 1945 penulis tidak menemukan pengertian dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Dalam Undang-Undang MD3 disebut pada pasal 1 angka 4 yaitu “Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”. Seperti disampaikan tersebut, pengertian DPRD merujuk
pada konstitusi yaitu UUD 1945 akan tetapi di dalam UUD 1945 tidak ada
pengertian tentang DPRD. Artinya secara konstitusional pengertian daripada DPRD
tidak tercantum atau tidak diatur dalam UUD 1945.
Pengertian
tentang DPRD terdapat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dimana pada pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
DPRD
sama halnya dengan DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat yang bertugas
untuk mengakomodir aspirasi rakyat. Dari segi kedudukan dalam Pemerintahan,
antara DPR dengan DPRD berbeda dimana DPR terlepas dari Pemerintah Pusat namun
DPRD merupakan bagian daripada Pemerintahan Daerah. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Dengan kedudukan yang berbeda seperti itu, proses
pengawasan menjadi berbeda namun menurut penulis keberanian daripada DPRD baik
di Provinsi maupun Kabupaten/Kota adalah merupakan tindakan yang tepat guna
mewujudkan sistem kekuasaan yang berimbang atau check and balances system.
Dalam pelaksanaan undang-undang, pemerintah daerah
tentu mengakomodir ke dalam aturan yang lebih khusus agar dapat dilaksanakan
sebagaimana kewenangannya dalam mengatur daerah. Aturan khusus yang dimaksud
adalah Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten
Kota. Kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabuoaten Kota
kini telah lebih jelas pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana pada pasal 7 ayat (1)
mengatur tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
yang terdiri atas:
a.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan
Pemerintah;
e.
Peraturan
Presiden;
f.
Peraturan
Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan pengaturan yang jelas seperti itu maka
dalam pelaksanaan sistem check and balances maka DPRD dapat langsung
mengatur dalam aturannya sendiri. Sistem check and balances yang dapat
diwujudkan oleh DPRD terhadap DPR adalah tentang bagaimana meng-harmonisasikan
produk hukum antara superior dengan imperior dimana dalam membuat
peraturan daerah, DPRD wajib untuk mempertimbangkan undang-undang sebagai
rujukan lebih tinggi dalam membentuk Peraturan Daerah (Perda).
Pada tahun 2011, ada Empat Ribu Perda di
Indonesia dibatalkan. Banyaknya jumlah tersebut adalah salah satu bentuk
kegagalan dari sistem check and balances dimana DPRD bersama-sama dengan
Kepala Daerah terkadang memiliki pendapat yang berbeda dengan aturan di atasnya
(undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah) sehingga menjadi
keluar dari koridor yang telah ditentukan yang pada akhirnya berujung pada
pembatalan peraturan tersebut.
Dalam sistem check and balances adalah
mengharmonisasikan undang-undang dengan kebutuhan masyarakat di daerah yang
kemudian diatur dengan aturan tersendiri (spesialis) yaitu peraturan
daerah, baik peraturan daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten Kota,
jika dalam peraturan daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota sudah koheren dengan
undang-undang maka wujud dari sistem check and balances pun dapat
dikatakan berjalan dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem pembagian kekuasaan di negara
Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan
untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin
kebebasan rakyat.
Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran Trias Politica
karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan
masing-masing kekuasaan negara terdiri dari Badan legislatif, yaitu badan yang
bertugas membentuk Undang-undang, Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas
melaksanakan undang-undang, Badan judikatif, yaitu badan yang bertugas
mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan megadilinya
Menurut UUD 1945 penyelenggaran negara pelaksanaannya
diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara seperti Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkmah Agung (MA),
Mahkamah Konstitusi (MK).
B. Saran
Sudah saatnya, kita bersama-sama
bergerak untuk mencapai angan demokrasi yang telah dicita-citakan oleh para
pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Indonesia. Unsur-unsur demokrasi yang kadang
menjadi akar permasalahan harus bisa diselesaikan dan diperbaiki, karena konsep
demokrasi bukan hak paten yang tidak bisa diubah. Ia harus bersifat dinamis dan
bisa mengikuti kultur sosial- politik-budaya Negara yang menggunakannya sebagai
asas negara.
DAFTAR PUSTAKA
C. S. T. Kansil, S.H. dan Christine S. T. Kansil,
S.H., M.H. 2005. Sistem Pemerintahan Indonesia. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Setiadi, M. Elly. 2005. Pendidikan Pancasila Untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sidjabat, W. Bonar. 1968. “Notulen Rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia”. Ragi Buana. Syafiie, Inu Kencana. 2011.
Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. SITUS WEB AnneAhira.com