Objek dan cara pengenaan pajak



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
            Pajak merupakan iuran rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dan tiada mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjukan. Pajak bagi perusahan merupakan beban yang perlu dipertimbangkan, karena pajak dapat menjadi pengurang laba. Teruntuk perusahaan yang ingin mengekspansi kekayaan perusahaannya tentu hal ini perlu diperhatikan.
            Namun, yang terjadi saat ini banyak perusahaan yang menomor duakan hak dan kewajiban perpajakan serta hukum pajak. Padahal apabila perusahaan dapat mengelola dan menaati prosedur pajak badan dengan benar maka kelangsungan hidup perusahaan akan semakin baik, perusahaan akan dipandang bagus oleh pemerintah dan terhindar dari proses pengauditan yang dapat menyebabkan pajak kurang bayar yang lebih besar diakhir perhitungannya.
            Wajib pajak harus memahami undang-undang yang telah ditetapkan pemerintah mengenai pengenaan pajak serta segala hukumnya. Sehingga apabila terjadi ketidakwajaran atas pengenaan tarif pada pajak perusahaan wajib pajak dapat menolak dan membetulkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu pemahaman tentang perpajakan juga perlu wajib pajak kuasai, sehingga dapat diaplikasikan ilmu tersebut dalam mengelola perusahaan.
B. Tujuan
1.      Pengertian Objek Pajak
2.      Perluasan Objek Pajak
3.      Macam-macam obyek pajak



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Objek Pajak
            Dalam perpajakan, yang dimaksud dengan objek pajak yaitu apa-apa yang dikenakan pajak. Mengingat penting dan strategisnya objek pajak dalam perpajakan, baik hukum maupun akuntansi, sehingga dalam UU perpajakan Indonesia dengan tegas menyatakan apa yang menjadi objek pajak setiap jenis pajak. Untuk itu, sebagai contoh, pasal 4 Ayat (1) dan ayat (2) undang-undang pajak pengahasilan telah memberikan penegasan mengenai objek pajak penghasilan.
            Dalam website pemerintah pengurus dan pengelola pajak negara dinyatakan bahwa “Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
            Secara umum, sedikit sekali pengarang buku-buku perpajakan menyebutkan dalam bukunya tentang definisi objek pajak. Erly Suandy menyebutkan secara ringkas definisi objek pajak adalah segala sesuatu yang akan dikenakan pajak.3 Dan sebagaimana telah kami singgung sebelumnya, dalam pasal 4 Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang PPh, disebutkan tentang definisi obyek pajak penghasilan sebagaimana definisi objek pajak yang telah disebutkan oleh pemerintah pengurus pajak dalam websitenya, http://pajak.go.id.
            Meskipun segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan objek yang dapat dikenakan pajak (tatsbestand), namun dalam menentukan objek tersebut (fiscus) harus jeli dan teliti, jangan sampai menimbulkan kerugian bagi wajib pajak karena suatu objek seharusnya tidak dapat dikekanakan pajak, justru berubah menjadi objek yang dapat dikenakan pajak.
Dari mekanisme aliran pertambahan kemampuan ekonomis, penghasilan yang diterima oleh Wajib pajak dapat dikatagoriakan atas 4 (empat) sumber:4
1.      Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan bebas.
2.      Penghasilan dari usaha dan kegiatan
3.      Penghasilan dari modal
4.      Penghasilan lain-lain, seperti hadiah, pembebasan utang, dan sebagainya

B.  Perluasan Objek Pajak
            Pada dasarnya obyek pajak yang ditentukan oleh pemerintah tidaklah banyak macam ataupun jenisnya, tetapi perkembangan teknologi dan sistem keuangan menjadikan obyek pajak tersebut harus mengalami perluasan. Perluasan yang terjadi ini, dalam arti perluasan cakupan, diatur dalam peraturan perundangan yang berkaitan dengan perpajakan.
            Sebagai contoh, Undang-undang No 11 Tahun 1994 maupun Undang-undang No 18 Tahun 2000, perluasan objek pajak diatur dalam pasal 4 UU PPN tahun 1984 dan mengalami perluasan yang dilakuan dengan UU No 11 tahun 1994. Pada dasarnya perluasan obyek pajak tersebut memiliki dua sifat:6
a.Bersifat Kondifikasi
Berbagai peraturan pelaksanaan dan petunjuk pelaksanan dalam banyak surat edaran Direktur Jndral Pajak yang acapkali mengatur permasalahan yang tidak pernah ditemukan dalam UU, sevara konsolidatif di masikan dalam UU No 8 1983;
1)  Objek pajak berasal dari Peraturan Pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) UU No 8 Thn 83’ pra revisi, yaitu:
a.       PP No 22 Thn 1985 (jenis jasa yang atas penyerahannya terutang pajak )sejak Tgl 1 Aprl 1985 ( jasa pemborong banguna atuat barang tak bergerak)
b.      PP No 28 Thn 1988 ( diperluas) sejak Tgl 1 April 1989 atas;
c.       PP No 75 Thn 7991 yang memperluas objekl pajak pertambahan nilai atas penyerahaan barang kena pajak yang dilakukan didaerah Pabean dalam lingkuyangan perusahaan atau pekerjaan pedagang eceran besar terhitung 1 Aprl 1992.7
2)  Perluasan pennyerahan barang kena pajak yang tidak pernah disebut dalam UU, semuala diatur hanya dalam petunjuk pelaksanaan yang dituangkan dalam beberapa surat edaran :
a.       Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No: SE-28/Pj.3/1985 tgl 2 aprl 1985 (SERI PPN-41) menegaskan bahwa penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi termasuk dalam pengertian penyerahan kena pajak.8
b.      Penyerahaan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang dan antar cabang yang tidak memperoleh persetujuan Direktur Jendral Pajak untuk melakuakn pemusatan tempat pajak terutang, merupakan penyerahan kena pajak.

Bersifat Perluasan Objek
            Dalam perjalanan sejarah UU PP 1984 sejak ditetapkan mulai berlaku 1 Apr 1985 oleh peraturan pemerintah No 1 Thn 1985 hingga perubahan terakhir yang berlaku mulai 1 Jan 2001 yang dilakukan dengan UU No 18 Thn 2000, Objek pajak pertambahan nilai telah mengalami beberapa kali perluasaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (2) yang lama PPN dapat diberlakukan hingga penyerahan barang kena pajak yang dilakukan dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan pedagang eceran dan semua penyerahaan jasa kena pajak.
C.Macam-macam obyek pajak.
            Banyak sekali yang dapat dimasukkan dalam kategori ini obyek pajak yang dalam bahasa jerman disebut dengan tatbestand. Dalam masyarakat terdapat banyak hal yang dapat dikenakan pajak. Pengenaan ini dapat dikarenakan keadaan, perbuatan maupun peristiwa.9 Misalnya :
Keadaan : kekayaan seseorang pada waktu tertentu atau kepemilikan atas suatu benda;
Perbuatan ; melakukan suatu transaksi, mendirikan bangunan, menerima penghasilan, dan bepergian keluar negeri;
Peristiwa : kematian, keuntungan yang diterima secara mendadak, dan segala sesuatu yang diluar kehendak seseorang atau manusia.
Selain itu, obyek pajak dapat dibedakan juga dalam kategori obyek pajak langsung dan obyek pajak tidak langsung.10 Pada pajak tak langsung, besarnya pajak yang dikenakan tidak terpengaruhi oleh keadaan wajib pajak, tetapi obyeknya saja yang menentukan. Contohnya seperti pengenaan PPN dan bea cukai. Sebaliknya, pajak langsung pengenaannya masih tergantung pada keadaan wajib pajak. Contohnya pada pajak penghasilan, dalam perhitungannya terdapat penghasilan yang tidak kena pajak, yang mana dalam penghasilan pajak ini, keadaan wajib pajak mempengaruhi besarnya penghasilan tidak kena pajak. Menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak dan lain sebagainya inilah yang mempengaruhi besar penghasilan tidak kena pajak tersebut.
Membahas sedikit tentang pajak penghasilan, dalam hal ketentuan pemerintah tentang penghasilan tidak kena pajak, kami merasa ada ketidakadilan di dalamnya. Mengapa? Apabila kita kaji lagi, dasar pengenaan penghasilan tidak kena pajak atau yang biasa disebut dengan PTKP tidaklah sesuai dengan iklim sosiologis negara kita, terutama apabila dikaitkan dengan ketentuan Islam sebagai dasarnya.
Objek pajak yang pernah berlaku di Indonesia
Berikut ini terdapat macam-macam obyek pajak yang lain, selain atas dasar alasan pengenaan dan keadaan subyek pajak, yang pernah berlaku di Indonesia.
1.1Obyek pajak penghasilan12
Pendapatan dapat dijadikan obyek pajak pendapatan (ordonansi PPd 1944, Stb. 1944 no. 17). Dalam peraturan atau ordonansi tersebut terdapat definisi pendapatan yang dinyatakan bahwa pendapatan adalah gunggungan jumlah uang atau nilai uang yang selama tahun takwim diperoleh seseorang sebagai hasil dari ;
a.Usaha dan tenaga,
b.Barang tak gerak,
c.Harta gerak,
d.Hak atas bayaran berkala.
1.2Obyek pajak perseroan13
Dalam pasal 1 dan 3 Ordonansi 1925 no. 319, ditentukan : “Dengan nama pajak perseroan dipungut pajak :
1.Dari laba yang diperoleh perseroan terbatas, perseroan komanditer,... dst. ... yang modal seluruhnya atau sebagian terbagi atas saham-saham perusahaan negara dalam bentuk apapun, perkumpulan koperasi, perkumpulan gotong royong asuransi, maatschap, firma, kongsi dan sebagainya yang berkedudukan di Indonesia.
2.Dan laba yang diperoleh perkumpulan yang modalnya tidak terbagi dalam saham-saham yang berkedudukan di Indonesia, lain dari pada perusahaan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan masyarakat umum,
3.Dari laba yang diperoleh badan, yang berkedudukan di Indonesia oleh suatu pendirian yang tetap. Yang berkedudukan di Indonesia... dst.”
Selanjutnya pasal 3 PPPs 1925 menentukan : “dengan laba dimaksudkan jumlah keuntungan yang diperoleh bersih, dengan nama dan bentuk apapun, dari perusahaan dan dari modal yang dipergunakan di luar perusahaan.”
1.3Obyek pajak penghasilan14
Yang dijadikan obyek pajak penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi atau badan, baik yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di Indonesia, maupun yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di luar negeri. Selanjutnya, penghasilan diuraikan lagi dalam pasal 4 UU PPh atau UU no 17 tahun 2000, sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas.
Objek pajak penghasilan yang diperoleh bentuk usaha tetap (BUT), diatur dalam pasal 2 dan 3c dalam UU PPh 1984, digolongkan sebagai subjek pajak dalam negeri, berlainan dengan kebiasaan internasional. Dan pada UU PPh no 17 tahun 2000, BUT tergolong sebagai subjek pajak luar negeri.15
Pada pasal 5 ayat (1) PPh 1984, khusus yang mengatur BUT sebagai wajib pajak dalam negeri, menyatakan bahwa yang dikenakan pajak penghasilan adalah :
a.Penghasilan dari kegiatan usaha BUT tersebut (dimana saja diperoleh), dan juga penghasilan dari harta yang dikuasai atau dimilikinya (tidak pandang dimana letaknya)16;
b.Penghasilan induk atau badan lain yang bukan wajib pajak dalam negeri, yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa yang dilakukan oleh BUT di Indonesia, kecuali penghasilan yang disebut dalam pasal 2.17
Selanjutnya, pasal 5 ayat (2) memberikan pengecualian, yaitu penghasilan yang didapat pleh induk BUT atau oleh badan lain (yang bukan wajib pajak PPh dalam negeri) yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk BUT tersebut, yang berupa deviden, bunga royalty dan sebagainya, yang sudah dikenakan pajak penghasilan di Indonesia berdasarkan pasal 26 UU PPh, yang tidak ada hubungannya dengan BUT di Indonesia, tidak dianggap sebagai penghasilan dari BUT tersebut. Akan tetapi biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan induk tidak pula boleh dikurangkan sebagai beban BUT, dan juga pajak yang telah dibayar oleh induk (berdasarkan pasal 26 UU PPh) tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang menjadi beban BUT.
1.4Objek pajak kekayaan18
Pajak ini dikenakan berdasarkan Stb. 1932 no. 405, dan peraturan ini tidak diberlakukan lagi mulai 1 januari 1986.
1.5Objek pajak penjualan19
Pajak ini termasuk dalam jenis pajak tidak langsung. Dasar pengenaan pajak ini adalah undang-undang no. 19 tahun 1951, yang sudah ditiadakan dan tidak diberlakukan lagi.
1.6Objek pajak pertambahan nilai20
Objek pajak ini diatur dalam Undang-undang PPn no 8 tahun 1983, yang telah mengalami perubahan sebanyak dua kali, yaitu dengan UU no 11 tahun 1994 dan kemudian dengan UU no. 18 tahun 2000.
1.7Objek pajak rumah tangga21
Pemberlakuan pajak terhadap objek pajak ini didasarkan pada ketentuan dalam Stb. No 13 tahun 1908 yang diperbarui dengan LN no 112 tahun 1959. Dan kemudian tidak diberlakukan lagi sejak 1 Januari 1986.
1.8Objek pajak kendaraan bermotor 22
Objek pajak ini berlaku dengan berdasar kepada Stb no 718 tahun 1934. Dan pada PP no. 3 tahun 1957, pajak ini digolongkan ke dalam pajak-pajak yang oleh pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat 1.
1.9Objek bea balik nama kendaraan bermotor23
Objek yang menjadi sasaran bea balik nama kendaraan bermotor sesuai yang ditentukan dalam pasal 1 Perpu no. 27 tahun 1959, adalah: penyerah kendaraan bermotor dalam hak milik yang dilakukan di Indonesia. Dalam hal penyerahan hak milik ini, tidak dijelaskan tentang bagaimana proses penyerahan tersebut, baik melalui jual beli, hibah, dan sebagainya. Selanjutnya diberikan kepastian melalui fiksi, bahwa penguasaan kendaraan bermotor oleh yang bukan miliknya selama 12 bulan, dianggap sebagai penyerahan hak milik, kecuali jika penyerahan hak milik itu akibat dari sewa-menyewa maupun jabatan (pemegang kendaraan bermotor milik pemerintah).
Macam-macam objek pajak berdasarkan kedudukan wajib pajak
Selanjutnya, Rochmat Sumitro dan Dewi Kania menggolongkan objek pajak dalam 3 golongan, yaitu : objek pajak wajib pajak dalam negeri, objek pajak wajib pajak luar negeri, dan objek pajak yang tercakup oleh traktat pajak.26
2.1Objek pajak wajib pajak dalam negeri
Ada beberapa jenis pajak yang memiliki wajib pajak dalam negeri, diantaranya adalah PPn, Pajak Penjualan, Pajak kendaraan bermotor dan lain sebagainya. Hal ini wajar karena objeknya harus berada di dalam negeri atau di Indonesia. Tetapi objek pajak wajib pajak dalam negeri, dikenakan pada objek pajak yang entah ada di dalam ataupun luar negeri yang dimiliki oleh wajib pajak di dalam negeri.
Pajak ini dikenakan oleh negara tempat wajib pajak itu berdomisili. Ini yang disebut dengan asas domisili. Asas ini merupakan asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan labih berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak dalam negeri yang berasal dari sumber mana saja sumber itu berada, baik sumber itu berada di dalam negeri ataupun di luar negeri. Inilah yang menyebabkan adanya azas world wide income.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.      Untuk setiap jenis pajak, terdapat perbedaan mengenai pengertian subyek pajak  dan siapa saja pihak yang termasuk subyek pajak
2.      Subyek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan.
3.      Secara garis besar, subyek PPN diantaranya, Pengusaha Kena Pajak (PKP), Pedagang eceran, Badan-badan tertentu, yaitu PERTAMINA, Kontraktor Kontrak Bagi Hasil.
4.      Yang menjadi subyek pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/ atau memperoleh manfaat atas bangunan.
5.      Menurut Undang-undang No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Yang menjadi subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/bangunan.



DAFTAR PUSTAKA


Saranta, Djaka. 2003. Dasar-dasar Perpajakan di Indonesia. Jakarta
Mansur, Muhammad,dkk. 2005. Pajak Terapan Brevet A & B. Tangerang: TaxSys
Undang-undang Perpajakan Indonesia.
http://www.pajakonline.com/
http://www.wikipedia.org/

Subscribe to receive free email updates: