Biografi dan Profil Ibnu Sina
IBNU SINA
Latar
Belakang
Dalam sejarah pemikiran
filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang
diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh
penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya
filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap
dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan
hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu
menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang genius
dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk
merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme
yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali
al-Husein ibn Abdullah ibnal-Hassan ibnAli ibn Sina. Ia dilahirkan di desa
Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H (8-980 M).
Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh
ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu
wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat
tiga orang anak, Ali, Husein (ibn Sina), dan Muhammad.
Ia mempunyai ingatan dan
kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal
al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab Metafisika
karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali, kendatipun ia belum
memahaminya sampai mempunyai ulasan Al-Farabi.[1] Pada usia 16 tahun ia telah banyak
menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur,dan
filsafat. Bahkan, ilmu kedokteran dipelajari sendiri. Di antara guru-gurunya
hanya Abu ‘abdullah al-Natili (dalam bidang logika) dan Isma’il (seorang zahid)
yang dikenal namanya. Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi di berbagai
bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang, dan seorang dokter termasyhur
sehingga diundang untuk mengobati sultan Samanid di Bukhara, Nuh ibn Mansyur.
Keberhasilannya tersebut merupakan perintis hubungan baiknya dengan Sultan,
sehingga ia diberi kesempatan untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di
perpustakaan Sultan. Dengan daya ingatnya yang luar biasa, Ibnu Sina dapat
menghapal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal itu menjadi modalnya untuk
menulis buku pertamanya tentang psikologi menurut metode Aristoteles, dan dipersembahkan
untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku itu berjudul Hadiyah al-Ra’is ila
al-Amir.
Pada masa mudanya ia tertarik
pada aliran Syi’ah Isma’iliyah dan aliran kebatinan. Ia
banyak mendengarkan percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran
tersebut dengan ayahnya atau kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai soal-soal
akal pikran dan kejiwaan menurut cara mereka. Tetapi, sebagaimana dikatakannya
sendiri dalam auto biografinya, ia tidak dapat menerima aliran-aliran tersebut
dan menjauhinya. Hal itu menunjukan kemandirian berpikir ibn Sina dan mengikuti
mazhab sunnah maupun mazhab syi’ah. Ia muncul dengan mazhabnya sendiri, yakni
mazhab Sinawi. Jadi, amat sukar mendapatkan keterangan yang pasti tentang corak
mazhab yang dikembangkannya, apakah cendrung ke Syi’ah atau cenderung ke Sunnah
. Tampaknya, ibn Sina mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha
menemukan hakikat kebenaran, baik di bidang filasafat maupun bidang keagamaan.
Dalam usia 22 tahun ayahnya
meninngal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat baginya, sehingga ia dengan
berat hati meninggalkan Bukhara menuju jurjan, di mana ia berjumpa dengan Abu
‘Ubaid al–Jurjani kemudian menjadi salah seorang muridnya, dan penulis sejarah
hidupnya. Tetapi, ia tidak lama bermukim di kota ini karena kekacauan politik,
lalu ia pergi ke Hamazan. Di kota Hamazan ini ia berhasil menyembuhkan penyakit
Sultan Syams al-Daulah dari dinasti Buwaihi (1015-1022). Atas jasanya ini,
Sultan mengangkatnya sebagai Wazir ‘Azhim (perdana mentri) Rayyand. Namun tidak
berapa lama memangku jabatan tersebut, pihak militer menangkapnya dan merampas
hartanya , serta berencana untuk membunuhnya . Atas bantuan Sultan Syams
al-Daulah, ia dikeluarkan dari penjara. Lagi-lagi ibn Sina berhasil
menyembuhkan penyakit perut (maag) yang di derita oleh Sultan dan sebagai
imbalannya, Sultan menobatkannya menjadi perdana menteri kedua kalinya di
Hamadan. Jabatan ini diembannya sampai Syams al-Daulah meninggal
dunia. Kemudian ia mengundurkan diri dan ingin pergi ke Isfahan untuk berbakti
kepada raja ‘Ala’u al-Daulah. Sebelum niat ini terlaksana, ia ditangkap Taj
al-Muluk, anak Syams al-Daulah, dan di penjara di benteng fardajan selama empat
bulan. Ia berhasil lari dari penjara Hamadan denga n cara manyamar ke Isafan,
di mana ia disambut dengan baik sekali.
Di antara filsuf Arab yang
termasyhur di Barat, termasuk ibn Sina yang dikenalavicenna atau
disebut juga Aristoteles Baru. Kebesarannya sebagai tokoh filsafat pada
asalnya, terbukti ketika Al-Ghazali melancarkan serangan terhadap pemikiran
kaum filsuf, Al-Ghazali tidak menemukan tokoh filsafat dihadapannya sekaliber
Ibn Sina.
Pada akhir hayatnya ia
menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan dan meninggal di Hamadzan pada 428
H (1037 M) dalam usia 57 tahun.[2] Diberitakan, penyakit perut (maag)
yang membawa kematiannya sebagai dampak dari kerja kerasnya untuk urusan negara
dan ilmu pengetahuan. Pada waktu siang ia bekerja, malam ia membaca dan menulis
hingga larut malam. Bulan-bulan terakhir kehidupannya, ia berpakaian putih,
menyedekahkan hartanya kepada fakir-miskin, dan mengisi waktunya dengan
beribadah kepada Allah.
Filsafat islam mencapai
puncak kecemerlangannya pada zaman hidupnya Syaikh Ar-Rais Abu ‘ Al-Husein bin
Abdullah Ibn Sina. Dialah filosof Islam yang paling banyak menulis buku-buku
ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan ranting. Para filosof Islam
yang datang sesudahnya tidak mencapai kemajuan yang berarti, malaha sebagian
besar dari mereka itu hanya menguraikan buku-buku yang ditulis oleh Ibn Sina,
seperti Ar-Razi dan At-Thusi misalnya. Pada zamannya, filsafat islam
mencerminkan kepribadian Ibn Sina sehingga ia menjadi sasaran serangan kalangan
yang mengecam filsafatnya dan menghendaki kehancurannya.
Kalau al-kindi seorang Arab
dan Al-Farabi seorang Turki, maka Ibn Sina adalah orang Persia. Semuanya itu
menunjukkan corak universal peradaban Islam. Hal itu dimungkinkan oleh agama
yang melandasi filsafat itu sendiri, Islam, dan berkat bahasanya, yaitu bahasa
Arab.
Kalau Istana Khalifah
Al-Mu’tashim Billah diperindah oleh Al-Kindi dan karya-karyanya, dan istana
Saifud-Daulah dihiasi oleh Al-Farabi beserta hasil pemikirannya; maka daulat
Bani Buweih di Persia yakni pada akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5 Hijriah,
mengenal Ibn Sina dengan nama julukan As-Syaikh. Ketika itu Sultan
Mahmud Al-Ghaznawi ingin menarik Ibn Sina ke istananya di Afghanistan, tetapi
Ibn Sina menolak dan lebih suka tetap tinggal di Persia. Akan tetapi kemudian
ia meninggalkan Bukhara dan pergi menuju istana Sultan ‘Ali bin Al-‘Abbas di
Khawarizm (Turkistan). Disana ia bertemu dengan banyak ulama dan kaum
cendikiawan. Antara lain Abu Raihan Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan Abu-Khair
Al-Khammar.Ketika itu Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan Abu Khair Al-Khammar.
Ketika itu Al-Biruni telah menempati kedudukan Abu Ma’syar dalam ilmu falak
(astronomi), Abu-Khair Al-Khammar telah menjadi orang ketiga dalam ilmu
kedokteran sesudah Hippocrate dan Galenus. Sedangkan Ibn Sina dan Abu Al Sahl
Al-Masihi merupakan dua sejoli dalam ilmu hikmah (filsafat) sesudah
Aristoteles, menyinggung perihal mereka, Al-‘Idzami Al’Arudhi mengatakan dalam
bukunya Jihar Maqalah (Ucapan Terus-terang) sebagai berikut:
“Kelompok itu tidak membutuhkan soal-soal keduniaan di dalam istana. Satu sama
lain asyik berdialog dan merasa senang dengan tukar menukar karya tulis ,
Sultan Mahmud Al-Ghaznawi berkirim surat minta supaya mereka bersedia tinggal
di istananya sebagai kehormatan dan untuk mengambil manfaat dari ilmu
pengetahuan yang mereka miliki, Akan tetapi Ibn Sina menolak, lantas lari ke
Jurjan (teletak di sebelah tenggara Laut Kaspia) dan tinggal di istana Amir
(pangeran) Qabus.”
Dalam autobiografi Ibn Sina
memulainya dengan mengatakan : “Ayahku seorang penduduk Balakh. Ia pindah ke
Bukhara pada zaman pangeran Nuh bin Manshur”. Ia menulis autobiografinya dengan
baik dan disempurnakan kemudian oleh muridnya, Al-Jurjani, Singkat kata pada
usia 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran Al-Qur’an, sastra dan bahasa
Arab. Kemudian ia belajar ilmu Fiqh pada seorang guru bernama Isma’il yang
terkenal sebagai orang yang hidup zuhud (menjauhi
kesenangan duniawi). Di samping itu ia juga belajar matematika dan ilmu ukur
pada ‘Ali Abu’ Abdullah An-Natili. Setelah itu ia belajar sendiri dengan
membaca berbagai buku, termasuk buku-buku Syarh hingga
menguasai ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia mempelajari buku Ocledus
mengenai ilmu ukur (geometri) dan buku-buku lain tentang ilmu kedokteran, Dalam
usia delapan belas tahun ia telah selesai mempelajari semua ilmu tersebut.
Sebuah cerita mengatakan
bahwa pada masa itu ia hafal isi buku Metaphysica di luar
kepala tanpa memahami kandungan maknanya hingga saat ia menemukan buku
Al-Farabi yang menerangkan maksud tulisan Aristoteles. Setelah itu barulah ia
dapat memahami perumusan kalimatnya. Kenyataan itu membuat Ibn Sina mengakui
kedudukan Al-Farabi sesbagai kedua Guru Kedua.
Ketika pindah ke Bukhara ia
dipanggil oleh sultan Nuh bin Manshur untuk mengobati penyakitnya, dan ternyata
ia berhasil menyembuhkannya. Kejadian ini merupakan awal-mula hubungannya
kesempatan kepadanya memeriksa ribuan buku yang tersimpan di dalam
perpustakaannya Dengan kekuatan daya-ingatnya yang luar biasa ia dapat
menguasai isi sebagian besar buku-buku tersebut. Kemudian ia menulis bukunya
yang pertama untuk pangeran Nuh, perihal psikologi menurut metode Aristoteles.
Buku tersebut diberi judulHidayyatur-Ra’is Ilal-Amir (Hadiah Ibn
Sina kepada Amir). Buku tersebut berisi pembahasan tentang kekuatan-kekuatan
psikologis. Buku yang lain tentang psikologi di tulisnya dalam bentuk risalah
kecil. Banyak sekali buku-buku karyanya yang memadukan ilmu filsafat dengan
ilmu kedokteran. Tentang filsafat ia menulis buku Kitabusy-Syifa (Buku
Penyembuhan) dan mengenai kedokteran ia menulis buku Al-Qanun. Buku
Asy- Syifa membagi ilmu menjadi empat golongan, yaitu: ilmu semantik,ilmu alam,
ilmu pasti dan ilmu ketuhanan yang kemudian diringkas dalam sebuah buku
berjudul An-Najat (Keselamatan). Buku ini terkenal dan masih
beredar hingga dewasa ini.
Sejak diselenggarakannya
Mu’tamarusy-Syeikh di Baghdad pada tahun 1952 untuk memperingati genap 1000
tahun hari lahir Ibn Sina, sebuah Panitia Khusus di Mesir yang terdiri dari
para peminat filsafat mengambil prakarsa menerbitkan Kitabusy-Syifa secara
ilmiah. Pertama diterbitkan buku semantiknya, yang terdiri dari sembilan buah
buku. Kemudian diterbitkan buku-bukunya yang lain, tentang masalah ketuhanan
dan musik. Dengan diterbitkannya juga dalam buku-buku tersebut orang dapat
dengan mudah mempelajari filsafat Ibn Sina yang mengikuti jejak Aristoteles (Masysya’iyyah)
dan menjurus ke arah filsafat Isyraqiyyah yang cenderung
kepada sufisme. Pandangan tersebut oleh Ibn Sina dituangkan dalam bukunya yang
berjudul Al-Isyarat dan dalam beberapa karyanya yang belum pernah diterbitkan,
yaitu filsafat Masraqiyyah.
Buku Qanun Ibn Sina terbagi
dalam lima jilid, Masing-masing berisi soal-soal yang berkaitan dengan ilmu
kedokteran, seperti pengetahuan tentang fungsi bagian-bagian tubuh, pembedahan
dan pengebotan. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sampai
abad ke-17 Masehi masih merupakan buku pegangan bagi berbagai unversitas di
Eropa. Di samping buku tersebut, telah diterjemahkan pula sebagian besar dari
buku Asy-Syifa lewat buku itu filsafat Ibn Sina menembus ke negeri-negeri
Eropa, sampai Thomas Aquinas sendiri terpengaruh olehnya.
Karyanya
Pada usia 20 tahun ia telah
menghasilkan karya-karyanya cemerlang,dan tidak heran kalau ia menghasilkan 267
karangan. Kesuburan hasil karya ini disebabkan karena beberapa faktor. Kualitas
karya dan keterlibatannya dalam praktik kedokteran, mengajar, dan politik,
semuanya menunjukkan tingkat kemampuan yang luar biasa.[3]
a. Ia pandai mengatur waktu, di mana
siang untuk disediakan untuk pekerjaan pemerintahan, sedang malamnya untuk
mengajar dan mengarang, bahkan lapang kesenian pun tidak di tinggalkannya.
Kalau hendak berpergian, maka kertas dan alat-alat tulislah yang pertama
diperhatikan dan kalau sudah payah dalam perjalanan, maka duduklah ia berpikir
dan menulis
b. Kecerdasan otak dan kekuatan
hafalan juga tidak sedikit artinya bagi kepadatan karyanya. Sering- sering ia
menulis tanpa memerlukan buku-bukunya referensi dan pada saat kegiatannya tidak
kurang dari lima puluh lembar yang di tulis sehari-harinya.
c. Sebelum ibnu Sina telah hidup
al-farabi yang juga mengarang dan mengulas buku-buku filsafat. Ini berarti
al-farabi telah meratakan jalan baginya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan-
kesulitan yang dihadapinya terutama dalam soal-soal yang kecil.
Karangan- karangan ibnu Sina:
1. Asy-Syifa, buku ini adalah buku
filsafat yang terpenting yang terbesar dari Ibnu Sina, dan terdiri empat
bagian, yaitu, logika, fisika, matematika, dan metafisika, (ketuhanan). Buku
tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakan di
Barat dan Timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan
cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956 M lembaga ke ilmuan Cekoslovakia
di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika yang khusus mengenai ilmu
jiwa, dengan terjemahnya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch
bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954 M, dengan nama Al-burhan, di
bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi. Adapun kata Al–syfa, latinnya Sanatio
(penyembuhan), ensiklopedi yang terdidi dari 18 jilid mengenai fisika,
matematika, dan metafisika, kitab ini di tulis pada waktu menjadi menteri Syams
al-daulah dan selesai masa Ala’u al- Daulah di Isfahan.
2. Al-Najat, latinnya Salus
(penyelamat), keringakasan dari al-syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama
dengan buku al-qonun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan
pada tahun 1331 M di Mesir
3. Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat
dan peringatan), mengenai logika dan hikmah. Buku ini adalah buku yang
terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun
1892, dan sebagiannya di terjemahkan ke dalam bahasa Prancis, kemudian
diterbitkan lagi di kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
4. AL-Hikmat al-Masyriqiyyah, buku
ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud juduk buku, dan
naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan
bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Carlos Nallino, berisi
filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat.
5. Al-Qanun, atau canon of medicine,
menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam
bahsa latin dan pernah menjadi buku standar untuk Universitas-universitas Eropa
sampai akhir abad ketujuh belas Masehi, dan di india tahun1323 H.
risalah-risalah lain yang banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat,etika,
logika, dan psikologi.
6. Hidayah al-Rais li al-Amir.
7. Risalah fi alkalam ala al-Nas
al-Nathaqiyah, dan
8. Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (logika
Timur).