Makalah Pemberontakan PRRI/PERMESTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 15
Februari 1956, meletus Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Achmad Huesin
memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PPRI)
dengan Syarifuddin Prawiranegara sebagai perdana menteri Proklamasi PPRI segera
mendapat sambutan di Indonesia Bagian Timur. Pada tanggal 17 Februari 1958,
Letkol D.J. Somba dengan Pemerintah Pusat mendukung sepenuhnya PRRI. Gerakan di
Sulawesi ini dikenal dengan gerakan Piagam Perjuangan Semesta atau Perjuangan
Semesta atau PERMESTA.
Dengan
diproklamasikannya PRRI di Sumatera dan PERMESTA di Sulawesi. Pemerintah
memutuskan untuk tidak membiarkan masalah tersebut berlarut-larut dan segera
menyelesaikan dengan kekuatan senjata.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang kami buat dalam makalah
yang berjudul Gerakan Separatis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI/PERMESTA) dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimana jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
2.
Bagaimana situasi dan kondisi Indonesia secara umum pada saat
Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
3.
Apakah dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa
Indonesia?
4.
Bagaimanakah upaya penumpasan dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
5.
Bagaimana akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
B. Tujuan Penulisan
Tujuan kami
dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang
Pemberontakan PRRI/PERMESTA, permasalahan militer di Indonesia lainnya dan
untuk menambah wawasan atau pengetahuan. Selain itu untuk memenuhi tugas mata
pelajaran Sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jalannya Pemberontakan
PRRI/PERMESTA
Sebelum
lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan
November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari
pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara
AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan
di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam
rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada
perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk
mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih
tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin
oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera
tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera
selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi
yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan
tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama
dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab
seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat
agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan
pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya
dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon
menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan:
1. Melepaskan hubungan sementara dengan
pemerintah pusat
2. Mulai tanggal 22 Desember 1956 tidak
lagi mengakui Kabinet Djuanda.
3. Mulai tanggal 22 Desember 1956
mengambil alih pemerintahan di wilayah tertera dan tetorium I
Melalui
pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara. Pada
tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden
No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli,
serta semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga
terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje
Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan
tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa
penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera
dapat dimulai.
Kegiatan
selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang
dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan
tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani
oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur. Wilayah gerakan tersebut meliputi
kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan program kerja Permesta,
maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan
bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih
oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita
Piagam Perjuangan Permesta.
Diantara
dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin
pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo
meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan
tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel
Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro
Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin
Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif
mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan,
serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan
pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak
dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang
pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada
daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan
radikal di segala bidang, sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut
supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
B. Situasi dan Kondisi Bangsa Indonesia Secara
Umum pada Saat Pemberontakan PRRI/PERMESTA
1. Kondisi Politik
Tatanan politik
yang diatur oleh UUDS 1950 menuntut sikap formal-legalistik. Bangsa indonesia
memasuki periode demokrasi liberal yang berdasarkan demokrasi parlementer. Para
menteri bertanggungjawab kepada perdana menteri, bukan kepada presiden. Setelah
dibentuknya kabinet Parlemen, kondisi politik Indonesia semakin kacau.
Pergantian kabinet secara terus menerus yang terjadi hampir setiap tahun.
Berbagai kebijakan silih berganti tiap periode menimbulkan keadaan yang tidak
kondusif.
Pecahnya
Dwi-tunggal Soekarto-Hatta memperburuk kondisi perpolitikan bangsa. Pada 1
Desember 1956 Hatta mengundurkan diri secara resmi dari jabatanya sebagai wakil
presiden. Hubungan Soekarno-Hatta mulai retak sejak tahun 1955. Perbedaan
pendapat dan latar belakang walaupun keduanya sebagai tokh muslim yang
nasionalis, namun Soekarno cenderung ke Marxis serta bermain api dengan
komunis, sedangkan Hatta cenderung ke Sosialis dan anti komunis.
Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan ”Demokrasi Terpimpin”, demokrasi yang dianggap oleh Soekarno sebagai demokrasi yang lebih didasarkan atas mufakat daripada demokrasi secara Barat yang memecah belah berdasar keputusan”50%+1”. Demokrasi terpimpin dijalankan dengan Dasar ”Kabinet Gotong Royong” yang merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI. Soekarno juga ingin menyampaikan ”konsepsi”nya mengenai fraksi politik di Indonesia.
Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan ”Demokrasi Terpimpin”, demokrasi yang dianggap oleh Soekarno sebagai demokrasi yang lebih didasarkan atas mufakat daripada demokrasi secara Barat yang memecah belah berdasar keputusan”50%+1”. Demokrasi terpimpin dijalankan dengan Dasar ”Kabinet Gotong Royong” yang merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI. Soekarno juga ingin menyampaikan ”konsepsi”nya mengenai fraksi politik di Indonesia.
2. Kondisi Perekonomian
Kegagalan
ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan berada pada
titik kekacauan. Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat
dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan ekonomi Kabinet Hatta yang
akomodatif terhadap modal asing dipertahankan oleh kabinet-kabinet berikutnya,
antara lain kabinet Natsir, Sukiman, dan kabinet Wilopo. Tetapi sejak kabinet
Ali I (1953-1954), haluan politik itu sama sekali ditinggalkan. Program ekonomi
kabinet seringkali hanyalah sembohyan. Kabinet ini menganggap bahwa modal asing
sangat merugikan bagi negara. Namun disisi lain, pembangunan administratif
sangat diperhatikan. Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping
pegawai dari pusat ke daerah. Partai PNI semakin nampak diperkuat.
Pada masa kabinet Ali II, membawa permasalahan
yang semakin parah. Sentralisme melalui sistem dropping pegawai mendesak
putra-putra daerah dalam mengatur urusan daerah sendiri, serta peranan mereka
di pusat. Semua administrator pemerintah mayoritas berasal dari Jawa, sedangkan
yang berasal dari putera daerah hanyalah pimpinan militernya saja. Sistem
birokrasi sangat berkaitan dengan partai politik yang sedang berkuasa.
Sedangkan keinginan untuk ber-otonomi semakin kuat di setiap daerah.
3. Permasalahan Militer
di Indonesia
Di dalam tubuh
suatu negara pastilah terdapat separangkat alat-alat negara. Setiap alat
mempunyai fungsi khusus dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Salah
satu alat yang sangat vital peranannya dalam pemeliharaan keutuhan serta
pertahanan negara adalah tentara atau militer. Militer merupakan lembaga yang
mempunyai eksklusivitas tersendiri. Keprofesionalisme-annya perlu di hormati
oleh sipil. Keberadaanya harus diperhatikan. Militer di suatu negara baru
merdeka cenderung melangkah ke arah politik. Hal tersebut terkait dengan
peranannya dalam perjuangan mereka pra-kemerdekaan suatu bangsa. Militer selalu
menjadi oposan bagi pemerintahan sipil. Jika pemerintahan sipil dirasa tidak
mampu memerintah dengan baik maka pemberontakan maupun perebutan kekuasaan oleh
militer mustahil untuk tidak terjadi. Salah satu contohnya adalah gerakan
PRRI/PERMESTA di Indonesia.
4. Situasi di Daerah
Peristiwa
pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai factor
yang menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai
penyebab dari pemberontakan ini.Sejak 1950, daerah tetap menjadi produsen
ekspor, namun hasilnya lebih dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi inilah yang
menyebabkan kecenderungan ”sentralistik” dalam pandangan permesta. Hubungan
antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa
kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat
menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.
Daerah luar
Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka menganggap bahwa
dana alokasi untuk daerah dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi untuk
melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer yang
mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah.
C. Dampak dari
Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa Indonesia
Terjadinya
PRRI/Permesta membawa luka luar dalam bagi masyarakat di dalamnya. Di Minang,
korban yang jatuh dari pihak PRRI kurang lebih berjumlah 22.174 jiwa, 4.360
luka-luka, 8.072 ditahan. Dari pihak APRI pusat jumlah yang meninggal adalah
10.150 jiwa, terdiri dari 2.499 tentara, 956 anggota OPR, 274 Polisi, dan 5.592
orang sipil. Pembangunan fisik yang selama ini dibangun menjadi hancur.
Masyarakat Minang menjadi rendah diri, muno, lalu cigin ke rantau.
Perubahan
kebijakan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah. Dekrit presiden 5 juli 1959
yang menetapkan kembalinya pemerintahan sesuai dengan UUD 1945. Dengan berhasil
ditumpasnya PRRI/Permesta maka PKI justru berkembang sebagai kekuatan yang
semakin kuat di tubuh TNI AD dan semakin berpengaruh terhadap Soekarno dalam
kaitannya dengan perpolitikan Indonesia yaitu diakuinya Nasakom [nasionalisme,
sosialisme, dan agama].
Dampak
selanjutnya adalah menimbulkan kesadaran di kalangan pimpinan negara bahwa
wilayah NKRI terdiri dari kepulauan yang luas dan beraneka ragam masalah di
setiap daerah. Sembohya Binneka tunggal Ika harus dihayati makna dan
hakekatnya. Hak otonomi yang luas memang perlu diberika kepada setiap daerah
agar setia ebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing
daerah.
Peristiwa
gerakan separatis tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Ali II pada tanggal 14
Maret 1957 yang ditandai dengan penyerahan mandat dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
kepada Presiden. Kabinet tersebut digantikan oleh kabinet Djuanda yang secara
resmi di bentuk pada tanggal 9 April 1957.
D. Upaya Penumpasan dari
Pemberontakan PRRI/PERMESTA
1. Upaya Diplomatis
Melihat realita
yang terjadi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai cara untuk menyelesaikannya.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Kasad Nasution terhadap timbulnya awal
gejolak pada bulan Desember 1956 adalah dengan mengeluarkan surat perintah
tanggal 2 januari 1957 untuk Kolonel Gatot Subroto, Kol. Ahmad Yani, Letkol.
Sjoeib, Mayor Alwin Nurdin, Ayor Sahala Hutabarat, dan Mayor Ali Hasan untuk
menemui kolo. Simbolon dan para komandan resimennya untuk mengusahakan agar
tidak terjadi bentrok secara fisik. Namun usaha ini tidak berhasil karena cenderung
kontroversif dengan keadaan. Mayjen Nasution telah melakukan pendekatan
terselubung terhadap bawahan Simbolon sendiri, yaitu Letkol. Djamin Ginting dan
Letkol Wahab Makmur untuk mengambil kedudukan panglima.
Usaha
Pemerintah Pusat untuk memenuhi tuntutan daerah yaitu dengan mengirim sejumlah
misi, seperti misi Kol. Dahlan Djambel, menteri pertanian Eny Karim, Dr.J
Leimena/ Sanusi, Prof. Zairin Zein/ Nazir Pamuntjak, dan Kol. Mokoginta Cs.
Misi-misi tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah di Sumatera Tengah.
Misi tersebut kemudian disusul dengan pembentukan Panitia Tujuh dan
penyelenggaraan Munas serta Musyawarah pembangunan. Namun semua usaha
diplomatis yang dilakukan Pemerintah Pusat tidak berhasil.
2. Tindakan dari RI terhadap
PRRI dan Permesta secara Bersenjata
Penolakan terhadap ultimatum PRRI oleh Pusat
diikuti dengan pemboman terhadap Padang dan daerah kantong pemberontakan
lainnya. Kemudian pemberontakan terang-terangan terjadi di Sumatera dan diikuti
oleh Permesta di Sulawesi. Setelah melihat situasi tersebut, pemerintah Pusat
melakukan upaya lebih lanjut dengan operasi militer. Operasi tersebut antara
lain :
a. Operasi yang dilaksanakan
di Sumatera
1) Operasi tegas
dilaksanakan pada 12 Maret 1958 di Sumatra Timur.
2) 16 April 1958,
pengiriman pasukan dalam ”Operasi 17 Agustus” di bawah Kolonel Achmad Yani,
yang dibantu oleh seorang perwira Angkatan Darat AS, Benson. Tanggal 17 April,
pasukan Yani telah menguasai Padang sepenuhnya.
3) Operasi Sapta
Marga dibawah Brigadir Jenderal Jatikusuma dengan sasaran Sumatera Timur dan
Sumatera Utara.
4) Operasi Sadar
dibawah pimpinan Letkol. Ibnu Sutowo dengan daerah sasaran Sumatera Selatan.
b. Pemecatan terhadap para pemimpin
pemberontakan dari jajaran militer Indonesia, dan dilaksanakan Operasi Marga
pada bulan April untuk menumpas Permesta.
1) Operasi Sapta
Marga I dibawah pimpinan Letkol. Soemarsono dengan sasaran Sulawesi Tengah
2) Operasi Sapta
Marga II dibawah pimpinan Letkol. Agus Pramono dengan sasaran Sulawesi Utara
bagian Selatan
3) Operasi Sapta
Marga III dibawah pimpinan Letkol. Magenda dengan sasaran sebelah Utara Menado.
4) Operasi Sapta
Marga IV dibawah pimpinan Letkol. Rukminto Hendraningrat dengan sasaran
Sulawesi Utara
5) Operasi Sapta
Marga V dibawah pimpinan Pieters dengan sasaran Jailolo.
6) Operasi Sapta
Marga VI dibawah pimpinan Letkol. KKO. H.H W. Huhnhloz dengan sasaran Murotai
E. Akhir dari
Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Pemberontakan
di Sumatra dapat dengan mudah ditumpas oleh pemerintah. Mereka tidak melakukan
perlawanan yang berarti. Pasukan banyak yang melarikan diri, bersebunyi dan
menyerah. Para tentara kebanyakan dari para pelajar dan mahasiswa yang belum
berpengalaman dalam perang. Tawaran Soekarno dan Nasution tentang pemberian
amnesti, abolisi dan rehabilitasi diterima oleh mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terjadinya
suatu peristiwa tidak lepas dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, seperti
yang telah diketahui bahwa dalam disiplin ilmu sejarah berlaku hukum kausalitas
atau sebab-akibat. Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga
tidak lepas dari berbagai factor yang menyebabkannya. Factor politis dan
ekonomis sangat berperan sebagai penyebab dari pemberontakan ini. Posisi
militer sebagai opsan pemerintah berusaha mengambil alih kekuasaan sipil
setelah melihat berbagai kekurangan dalam berbagai kebijakannya.
Kondisi yang dianggap ”sentralistik” oleh daerah menyebabkan hubungan
antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa
kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat
menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya. Gerakan
PRRI/Permesta merupakan gejolak daerah yang berusaha melakukan koreksi terhadap
kondisi bangsa yang morat-marit.
B. Saran
Dari penjelasan
di atas, kita sebagai Bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran dari Peristiwa
Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Kita sebagai bangsa yang baik patut melanjutkan
perjuangan para pahlawan yang telah memerdekakan Bangsa Indonesia ini dengan
lebih giat belajar, serta menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku
LKS Sejarah Kelas XII Semester I
Agung
Leo dan Aris Listiyani Dwi. 2009. Mandiri Sejarah. Jakarta:
Erlangga