Adopsi Dan Stutus Hukum Anak



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir Ilahi, dimana kehendak mempunyai anak tidak tercapai.
Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut. Dalam hal pemilikan anak, usaha yang pernah mereka lakukan adalah mengangkat anak atau “adopsi”.
Dalam makalah ini akan membahas tentang pengangkatan anak atau adopsi dan status hukum anaknya

B.     Rumusan Masalah
      1.            Apa pengertian adopsi dan pengangkatan anak ?
      2.            Bagaimana tata cara mengadopsi anak ?
      3.            Apa saja syarat pengangkatan anak ?
      4.            Bagaimana pandangan Hukum Barat, Hukum Adat, dan Hukum Islam terhadap adopsi ?

C. Tujuan
      1.            Mengetahui adopsi dan pengangkatan anak
      2.            Mengetahui tata cara mengadopsi anak
      3.            Mengetahui syarat pengangkatan anak
      4.            Mengetahui pandangan Hukum Barat, Hukum Adat, dan Hukum Islam terhadap adopsi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian
Secara etimologi, Adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda atau “adopt”(adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Dalam bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “ mengambil anak angkat” sedang dalam Kamus Munjid diartikan “ittikhadzahu ibnan” , yaitu “ menjadikannya sebagai anak.
Menurut istilah di kalangan agama dan adat di masyarakat, adopsi mempunyai dua pengertian, yaitu:
1.     Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anak sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya;
2.    Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dan orang tua.

Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 4-5, yang artinya sebagai berikut:

“ …dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.(4). Panggillah mereka(anak-anak angkat itu ) memakai nama  bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka)sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu, Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(5).

Surat Al-Ahzab ayat 4-5 tersebut dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.         Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia;
b.         Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu;
c.         Panggillah anak angkatmu menurut nama bapaknya.
Dari ketentuan di atas sudah jelas, bahwa yang dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal.
Agama Islam mendorong seorang muslim untuk memelihara anak orang lain yang tidak mampu, miskin, terlantar, dan lain-lain. Tetapi tidak dibolehkan memutuskan hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus didasarkan atas penyantunan semata-mata, sesuai dengan anjuran Allah. Tidak boleh karena ada udang dibalik batu dan hal-hal lain yang mengikat.
Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
·          tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga;
·         anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya;
·         anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekadar sebagai tanda pengenal/alamat;
·         orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.


BAB III
PEMBAHASAN

A.                Adopsi dan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi. Dalam kamus hukum kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption diberi arti pengangkatan anak sebagai anak sendiri.
Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga.
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
Secara terminologi para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi antara lain:
Dalam kamus umum bahasa indonesia dijumpai arti kata anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Dalam ensiklopedia umum disebutkan Adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.
Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, SH. : anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum setempat, dikarenakan dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
Sedangkan pengangkatan (adopsi) tidak di kenal dalam kitab undang-undang hukum perdata tetapi hanya dikenal dalam Stbl. 1917 no. 129 yo. 1924 no. 557. Menurut peraturan tersebut, pengangkatan anak atau adopsi adalah pengangkatan seorang anak laki-laki sebagai anak oleh seorang laki-laki yang telah beristri atau telah pernah beristri, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Jadi disini hanya anak laki-laki yang dapat di angkat ( tetapi menurut perkembangan yurisprudensi sekarang ini, anak perempuan pun boleh diangkat sebagai anak oleh seorang ibu yang tidak mempunyai anak.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengasuhan adalah proses, perbuatan, atau cara mengasuh. pengasuhan sering disebut pula sebagai child-rearing yaitu pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam mendidik dan merawat anak. Pengasuhan atau disebut juga parenting adalah proses menumbuhkan dan mendidik anak dan kelahiran anak hingga memasuki usia dewasa.atau biasa disebut juga dengan melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai “pancingan” agar kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri. Apapun alasannya, saat anda dan pasangan memutuskan akan mengadopsi anak hendaknya didasari dengan niat baik dan keikhlasan serta rasa kasih sayang yang tulus untuk merawat si anak. dalam perkembangan kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi: “Pengangkatan anak menurut adat kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya ketentuan hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Keadaan yang demikian tentu menimbulkan permasalahan diantaranya mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak terutama sekali bagi anak yang diangkat. Dalam perkembangan kemudian, setelah diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pada tanggal 23 Juli 1979 maka diharapkan pelaksanaan pengangkatan anak diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak yang diangkat. Meskipun sampai saat ini masih terdapat beragam peraturan yang mengatur mengenai pengangkatan anak, sehingga di dalam pelaksanaannya timbul permasalahan-permasalah dan hambatan-hambatan walaupun tujuan akhir pelaksanaan pengangkatan anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak.
Sampai saat ini belum ada peraturan khusus dan tersendiri mengenai pengangkatan anak. Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur mengenai pengangkatan anak ini, sedangkan dalam kenyataannya pengangkatan anak ini banyak terjadi, oleh karenanya pengaturannya kemudian diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yang merupakan bagian dari keseluruhan aturan yang ada dalam Staatsblad tersebut dan khusus berlaku untuk masyarakat Tionghoa.

B.     Tata Cara Mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .

C.    Syarat-syarat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melaksanakan pengangkatan anak adalah:
1.   Seorang laki-laki yang sudah atau pernah menikah, tetapi tidak mempunyai anak laki-laki.
2.   Suami istri bersama-sama.
3.   Seorang wanita yang telah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk melakukan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya dalam wasiat yang ditinggalkannya dan ia tidak telah kawin lagi.
Selain syarat-syarat tersebut di atas maka diperlukan pula kata sepakat (persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan:
1)   Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari kedua orang tuanya.
2)   Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, maka diperlukan persetujuan dari kedua orang tua tersebut.
3)   Bagi anak yang telah berumur 15 tahun, kata sepakat diperlukan juga dari anak yang bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia atau tidak.
4)    Bagi seorang wanita janda yang akan melakukan pengangkatan anak, maka diperlukan kata sepakat dari para saudara laki-laki yang telah dewasa dan bapak mendiang suaminya.
Apabila mereka tidak ada atau tidak berkediaman di Indonesia, cukup kata sepakat dari dua orang tua diantara keluarga sedarah laki-laki yang terdekat dari pihak bapak si suami yang telah meninggal dunia itu sampai dengan derajat ke empat, yang telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia.
Disamping itu perbedaan umur antara anak yang akan di angkat dengan ayah angkatny, sekurang-kurangnya 18 tahun dan dengan ibunya sekurang-kurangnya 15 tahun.



D.    Adopsi Menurut Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Barat.
Dalam hal ini akan dikemukan prinsip anak angkat menurut Hukum Islam, Hukum Adat dan KUHPerdata Belanda.
a.     Menurut Hukum Islam
Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak.
Oleh karena itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya. Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memerhatikan aspek ini (Republika.Co.Id, Jakarta). Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan :
Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
MUI mengharapkan supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri.
b.    Menurut Hukum Adat
Menurut catatan Ter Haar, sebagaimana dikutip oleh J. Satrio, pengangkatan anak di dalam Hukum Adat bukan merupakan sesuatu lembaga yang asing. Lembaga ini dikenal luas hampir di seluruh Indonesia. Alasan yang menjadi pertimbangan pengangkatan anak juga bermacam-macam. Ada yang karena untuk kepentingan pemeliharaan di hari tua dan ada yang kerana kasihan terhadap anak yatim piatu. Bahkan, ada kalanya pengangkatan anak dilakukan dengan pertimbangan yang mirip dengan adopsi yang diatur oleh ketentuan adopsi ( Stb Nomor 129 tahun 1917 ) yaitu untuk menghindari punahnya suatu keluarga. Tentang siapa yang boleh mengangkat anak tidak ada ketentuannya. Akan tetapi menurut R. Soeroso, dijumpai ketentuan minimal berbeda 15 tahun. Demikian juga tentang siapa yang boleh diadopsi juga tidak ada ketentuan harus anak laki-atau anak perempuan. Batas usia anak yang dapat diangkat juga berbeda antara dearah hukum yang satu dengan daerah hukum yang lain.
Hal ini wajar mengingat perbedaan-perbedaan adat di suatu tempat juga memungkinkan terjadinya perbedaan nilai-nilai hukum mereka.
Dalam hukum adat justru anak angkat atau pengangkatan anak ini diakuli dan harus dilakukan secara jelas, tegas dan terang atau tunai, yaitu dilakukan dengan upacara-upacara adat. Hal ini berkaitan dengan hubungan atau kedudukan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkat serta orang tua kandungnya.
Dalam masyarakat hukum adat , dengan pengangkatan anak, maka putuslah hubungan keluarga antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya. Dalam hal pewarisan anak tersebut mewaris dari orang tua angkatnya seperti halnya anak kandung. Jadi kedudukan hukum antara anak angkat dengan anak kandung sama dalam hal pewarisan.

c.     Menurut KUHPerdata Barat
Yang dimaksud Hukum Barat di sini adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut adopsi. Dasar hukum adopsi adalah Staatsblad Tahun 1917 nomor 129. Oleh karena itu pembicaraan mengenai adopsi Hukum Perdata Barat hanya bersumber dari Staatsblad tersebut, sebab keberadaannya merupakan satu-satunya pelengkap bagi BW yang di dalamnya memang tidak mengenal masalah adopsi.
Sudah barang tentu hal ini perlu ditegaskan agar jangan sampai salah pengertian, bahwa Hukum Barat itu hanya KUH Perdata/BW. J. Satrio menulis dalam bukunya HukumKeluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, bahwa tidak adanya ketentuan tentang adopsi dalam BW karena ketentuan tersebut memang sengaja dikeluarkan. Ada yang mengatakan, lembaga itu memang hendak dihapus. Menurut pikiran yang berlaku pada masa pembentukan BW tiang dasar mesyarakat Eropa adalah keluarga, yang diwujudkan dalam hubungan suami istri, orang tua anak seperti yang diletakkan dalam BW. Dengan dasar pikiran seperti itu, maka adopsi merupakan hubungan semu yang hanya meniru hubungan orang tua anak. Dengan mengutip pernyataan Ali Afandi dia mengemukakan, dalam catatan kaki, latar belakang tidak dikenalnya adopsi atau pengangkatan anak luar kawin. Yang perlu dicatat adalah bahwa adopsi yang diatur dalam ketentuan Staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, adopsi adalah pengangkatan anak atau menjadikannya sebagai anak.
Pengangkatan anak tidak menyebabkan putusnya hubungan darah antara anak angkat dengan orang tuanya dan keluarga orang tua yang bersangkutan.
Hubungan keharta-bendaan antara anak yang di angkat dengan orang tua yang mengangkat di anjurkan untuk dalam hubungan hibah dan wasiat.


DAFTAR PUSTAKA

Zaini, Muderis.1995.Adopsi “ Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum”.Jakarta : Sinar Grafika.
Zuhdi, Masjfuk.1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta : Toko Gunung Agung.


Subscribe to receive free email updates: